Tiga Kata yang Seharusnya Tak Aku Ucapkan

42 8 4
                                    

Aku punya kutukan. Semacam mantra yang akan bekerja jika aku mengucapkan atau menulisnya. Dan sekarang aku akan bercerita tentang kutukanku.

Jika kalian membaca catatan ini berarti aku sudah meninggal. Aku belum mau memberitahukan kepadamu apa penyebab, alasan, dan bagaimana aku meninggal.

Sebenarnya kutukan ini tidak terlalu penting untuk diucapkan. Karena menyangkut perasaan yang dapat dibuktikan dengan tingkah laku. Tapi terkadang kata itu perlu diucapkan untuk membuktikan kebenaran.

Kutukanku terdiri dari tiga kata. Kata pertama adalah aku. Ya, aku. Kedua adalah inti dari kutukan, aku tak bisa menyebutkannya. Dan yang ketiga adalah korban. Bisa dia, kau, mereka, kalian, atau sebuah nama. Aku menyebutnya korban karena ketika aku mengucapkan kutukanku pada seseorang, dia akan meninggal keesokan harinya.

Mengerikan? Ya. Asal kau tahu saja, aku sempat mengalami masa depresi dan frustrasi selama berbulan-bulan sejak mengetahui tentang kutukanku.

Kutukanku ini aneh. Semua orang yang merasakan perasaan lebih-dari-peduli pada orang lain akan mengucapkannya secara langsung tanpa beban dan penuh perasaan, sedangkan aku malah dapat membunuh seseorang hanya karena mengucapkan kalimat laknat itu.

Mungkin kau pikir mudah, aku hanya tak perlu mengucapkan tiga kata itu. Tapi, sudah kubilang, terkadang kalimat itu perlu diucapkan.

Saat masa-masa terpurukku, aku rasanya ingin meneriakkan kutukanku pada dunia. Sehingga musnahlah seluruh makhluk hidup. Tapi dengan cepat aku sadar, mendiang orang tuaku pasti tak ingin aku menjadi pembunuh dunia.

Pada masa-masa aku jatuh, aku lebih banyak berpikir. Berpikir banyak hal tentang kutukanku. Bahkan pikiranku pada saat itu hanya fokus pada satu hal, kutukan ini harus kupakai atau kumusnahkan?

Aku pernah terdorong untuk memakainya. Seperti mencari nama penjahat kelas kakap dunia dan mengucapkan kutukanku padanya. Seperti film Deathnote. Dengan itu, bukankah aku menjadi penyelamat dunia?

Tapi bagaimana pun, pembunuh tetaplah pembunuh. Yah, walau tak ada orang yang tahu, aku kan tahu. Aku akan terus hidup dengan rasa bersalah sepanjang waktu. Lagipula dunia ini tak akan seimbang jika seluruhnya berisi orang baik.

Maaf jika aku membuatmu menerka-nerka. Tapi aku tak bisa menuliskan kutukanku itu. Karena tulisan ini kubuat untukmu, dan aku tak ingin kau menjadi korban.

Aku sangat ingin menghilangkan kutukanku ini. Memang sih, kalau tiga-kata-yang-seharusnya-tak-aku-ucapkan itu tak mungkin sering kuucapkan. Tapi setidaknya biarkan hidupku ini tenang ke depannya tanpa dihantui bayang-bayang menjadi seorang pembunuh misterius.

Dulu, aku masih punya kedua orangtua dan adikku. Karena sebuah kalimat-yang-tak-seharusnya-kuucapkan itu ingin sekali kulontarkan untuk menyampaikan rasa bahagiaku, mereka meninggal. Walau orangtuaku yang lebih dulu, tetap saja sekarang aku sendirian. Yah, semua orang yang lebih-dari-peduli padaku sudah meninggalkanku. Penyebabnya adalah aku dan kutukanku. Padahal mereka tak pernah melakukan kesalahan padaku.

Miris memang. Entah kesalahan apa yang pernah kuperbuat sehingga aku harus menanggung beban kutukan ini.

Jika kau bertanya bagaimana aku bisa menyadari aku punya kutukan, sebenarnya aku juga baru tahu sekitar satu tahun yang lalu setelah melakukan beberapa riset. Aku mencari tahu dan mencoba untuk menghilangkannya.

Dari dulu, aku memang hanya dekat dengan beberapa orang. Semua adaah orang spesial dalam hidupku. Well, Aku hanyalah bocah pendiam, tertutup, dan hobi baca buku. Dan ketika aku mulai terbiasa dan bahagia bersama orang-orang terdekatku, aku malah membunuh mereka secara tidak langsung.

Mungkin aku punya musuh dan mata-mata, sehingga setiap aku mengucapkan tiga-kata-yang-seharusnya-tak-aku-ucapkan itu, mereka langsung membunuh korban kutukan itu agar aku tak dapat hidup bahagia. Begitu salah satu pemikiranku.

Setelah kuuji, kemungkinan itu tak benar. Karena jika aku menuliskan tiga-kata-yang-seharusnya-tak-aku-tulis itu kepada seseorang lalu ia membacanya, tetap saja ia akan wafat keesokan harinya.

Aku pun mencoba mengucapkan tiga-kata-yang-seharusnya-tak-aku-ucapkan itu pada rumput liar dan beberapa laba-laba. Besoknya, mereka juga mati.

Aku semakin tidak mengerti. Tapi mencoba untuk terus memahami.

Setelah melakukan beberapa uji coba itu, akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke psikolog. Aku menjelaskan segala hal tanpa menyebutkan tiga-kata-yang-seharusnya-tak-aku-ucapkan kepadanya untuk memperjelas kemungkinan aku memiliki kelainan jiwa atau apalah.

Lagi-lagi, tak ada yang bisa menolongku.

Aku mengalami masa terpurukku selama sebelas bulan sembilan hari. Aku yang sudah tak punya siapa-siapa lagi hanya bisa terus berterimakasih kepada tetangga baik yang selalu mengingatkanku untuk makan dan beristirahat. Aku senang masih ada orang yang peduli padaku. Ia bahkan tak jarang membagi sedikit masakannya padaku. Dia baik dan peduli, jadi bolehkah aku menambahkannya dalam daftar orang-orang terdekatku?

Kurasa jawabanmu pasti tidak, karena dengan begitu nyawanya terancam. Dan aku mungkin akan kelepasan mengucapkan tiga-kata-yang-seharusnya-tak-aku-ucapkan padanya karena terlalu bahagia. Seperti biasanya.

Sejauh ini aku telah membunuh lima orang, tiga tumbuhan, dan delapan hewan dengan kutukanku. Aku berusaha tidak menambah korban lagi.

Yah, apa yang bisa kulakukan? Aku hanya bisa mengisolasi diriku sendiri dengan berdiam di dalam rumah. Dan itu tidak berlangsung lama.

Aku manusia. Dan manusia adalah makhluk sosial. Membutuhkan manusia lainnya. Aku butuh bantuan, sehingga tak dapat terus-terusan mengisolasi diri.

Aku mencoba berinteraksi dengan orang lain. Walau hanya seperlunya saja agar tidak menambah korban. Tapi tetap saja, aku terus dihantui kenyataan bahwa aku adalah seorang pembunuh.

Entah sudah kuulang berapa kali, aku ingin kutukanku hilang dan tak ada korban lagi karena kutukanku.

Dan ini dia, aku menemukan satu cara. Atau mungkin satu-satunya cara.

Mungkin kau menebak bahwa aku akan bunuh diri.

Itu tak sepenuhnya salah. Karena memang aku akan melakukan itu. Hanya saja dengan cara yang berbeda.

Aku telah beberapa kali melakukan percobaan bunuh diri. Tapi selalu gagal. Entah itu karena pisau yang tak tajam, tali terputus, tetangga yang mencegah, pistol yang tiba-tiba kehilangan peluru (padahal aku yakin telah mengisinya), atau kedatangan helikopter penyelamat.

Pertanyaan yang selalu terlintas di kepalaku, apa salahku? Adakah dosa besar yang kuperbuat? Apa aku pernah melakukan perjanjian dengan iblis? Apakah aku hidup karena terpaksa? Apa ini kutukan karena kakek moyangku pernah bersalah dan aku yang harus menanggungnya? Kenapa harus aku?

Satu harapan kecil dalam diriku. Biarkan aku hidup dengan tenang.

Mungkin sekarang waktu yang tepat untuk bunuh diri. Catatan ini kubuat untukmu. Agar kau tahu, aku pernah hidup dan pernah berada di dunia ini selama delapan belas tahun.

Aku akan mengucapkan kutukanku, lalu beristirahat dengan tenang.

Tenang saja. Kau tak akan tewas karena telah membaca catatanku sampai sejauh ini. Kutukanku akan kutujukan pada diriku sendiri.

Sebentar lagi esok hari, aku harus mengucapkannya.

Pukul 23.57

Aku menyayangi diriku.

[]

Ini cerpen pertamaku. Kritik, saran, dan komentarnya kutunggu :')

Tiga Kata yang Seharusnya Tak Aku UcapkanМесто, где живут истории. Откройте их для себя