"Mbak Mehru." Sapa seseorang gadis berbaju putih biru menyamai langkahku.

"Ayesha. Loh udah pulang sekolah ya?" Tanyaku bingung, setelah menengok jam di tanganku yang masih menunjukan pukul sepuluh pagi.

"Ada rapat wali murid mbak. Kak Rayan lagi ikut rapat, jadi aku kesini gantiin." Ucap Ayesha tersenyum.

Kami jalan berdua menyusuri koridor menuju ICU. Tapi pikiranku masih sama, takut kalau tiba-tiba bertemu lagi dengannya. Mataku benar-benar nggak bisa diem. Setiap detik lihat kanan kiri depan belakang. Jangan sampai dia melihatku duluan di sini.

"Mbak nyari apa?" Tanya Ayesha.

"Nggak apa-apa kok Sha. Cuman perhatiin aja kok ramai ya jam segini." Bohongku.

"Ini kan jam jenguk mbak. Tapi ICU nanti jam sebelas."

"Oh gitu ya." Jawabku manggut-manggut.

Sekarang hampir semua rumah sakit ada jam jenguk. Saat bukan jam jenguk pintu masuk ruangan rawat inap akan di jaga oleh satpam. Dan melarang para pengunjung masuk. Kecuali keluarga pasien yang menunggu itu pun di batasi hanya dua orang dengan tanda pengenal dari pihak rumah sakit.

"Mbak kita ke kantin dulu nggak apa-apa kan?" Pinta Ayesha.

"Nggak apa-apa Sha. Mbak bawa makanan nih dari bunda." Jawabku menunjuk rantang yang aku tenteng.

"Sha jadi nggak enak repotin keluarga mbak mulu." Ucapnya menunduk.

"Nggak enak kasih kucing aja. Kalau ini enak kita makan aja."

"Makasih banget ya mbak."

"Sama-sama yang penting Bila sehat kamu dan Rayan baik-baik aja. Dan terakhir kamu harus jadi lulusan terbaik ya. Biar nanti masuk SMA gampang." Kataku menyemangatinya.

"Sha mau kerja aja mbak. Mau bantuin kak Rayan nyari duit." Jawabannya menunduk.

"Mbak nggak ijinin! Kamu harus sekolah minimal sampai SMA. Nggak usah mikirin biaya In shaa Allah mbak bisa biayain kamu."

"Tapi mbak... " mata Ayesha berkaca-kaca memandangku.

"Nggak ada tapi-tapian. Ini janji seorang kakak buat adiknya. Abah dan bunda udah anggep kalian sebagai keluarga. Jadi kalian juga adik-adikku."

Ayesha menubruk dadaku dan memelukku erat. Terdengar isakan kecil darinya.

Aku membelai kepalanya yang tertutup hijab putih.

Saat aku kecil, abah dan bunda tidak punya apa-apa. Sepetak tanah dan rumah abah jual demi biaya rumah sakit bunda dan kebutuhanku. Beruntung ada umi dan abi, yang selalu mengulurkan tangan pada kami. Berkat keuletan abah, dan modal yang diberikan abi. Abah mulai membuka toko bangunan kecil-kecilan. Dan bunda membuka warung yang menjual lauk pauk. Bertahun-tahun Alhamdulillah usaha bunda dan abah berkembang. Modal yang dulu di berikan abi bisa abah kembalikan.
Dan selain membuka toko bangunan, abah juga membuat kontrakan. Lumayan ada pemasukan tetap tiap bulan dari penyewa kontrakan.

Satu hal yang selalu abah pesankan ke aku. Setiap harta yang kita punya ada hak mereka, hak anak yatim dan fakir miskin. Serta jangan takut bersedekah. Karena sedekah itu menghapus dosa layaknya air yang memadamkan api.

Asheeqa (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang