days between us

45 5 2
                                    

write by Himawari Natalia

bts©bighit entertaiment

Days Between Us

SERINGKALI, Kim Namjoon bertanya-tanya mengapa masih ada orangtua yang memarahi
anaknya ketika mendapat hasil nilai jelek di ujian. Selama 20 tahun ia hidup, menjadi seorang yang pintar adalah malapetaka. Sejak kecil, Namjoon sering dibilang sebagai anak jenius. Ia langsung bisa menghapal isi
buku dalam sekali baca. Tanpa memperhatikan guru yang mengajar di kelas, nilainya selalu
sempurna. Tidak butuh waktu lama baginya untuk menguasai segala sesuatu. Dan di situlah letak musibahnya. Kesempurnaan tiada cela itu membuat banyak yang sulit mengerti jalan pikiran Namjoon
yang terlalu dalam. Lelaki itu bagaikan kamus berjalan yang mengetahui banyak hal. Dan
seringkali, menjadi objek untuk ditindas, bahkan ketika ia telah masuk kuliah.

“Belikan aku roti daging, sana pergi!”
“Bahkan kau bukan siapa-siapa,” balas Namjoon kepada seseorang bernama Min Yoongi itu.
“Apa kau bilang?” Yoongi langsung mendorong Namjoon dengan kasar ke tembok,
tatapannya menitimidasi.

“Belikan aku. Sekarang juga. Seharusnya kau mengerti, Jenius.”
Namjoon merasa muak. Ia sudah berulang kali mengalami hal ini, dan tidak ada yang dapat
ia bisa lakukan selain menurutinya. Ia menepis tangan Yoongi dengan gerakan pelan, lalu
berujar pendek, “Baiklah. Kubelikan.”

Ia berjalan meninggalkan Yoongi menuju kantin dan membelikan pesanan pemuda itu.
Namjoon mengira hari-harinya akan berlalu dengan tidak menyenangkan seperti biasa,
tetapi hari itu dunianya berubah.

“Kau Kim Namjoon bukan?” tanya seorang pemuda dengan senyum ramah—Kim Seokjin,
itulah namanya. Lagipula siapa yang tidak mengenali senior yang begitu aktif dalam banyak
kegiatan di kampus?

*
“Apa maumu?” Namjoon balas bertanya.
“Jadilah temanku.”
*
SEMULA, Jin tahu jika Namjoon akan sulit menerima tawaran pertemanannya itu. Namun, ia
tidak menyerah dan berusaha menarik perhatian lelaki itu setiap kali ada kesempatan.
Terutama ketika Namjoon terlihat akan ditindas, Jin segera menghampirinya dan menyapa
dengan sebuah senyum yang membuat siapapun tidak bisa melawan.

“Berhentilah mengikutiku.” Itu adalah kalimat yang seringkali Namjoon katakan kepada Jin,
tetapi selalu diabaikan.
“Bukankah jika aku berada di dekatmu adalah yang bagus? Kau tidak perlu lagi berurusan
dengan roti yang tak kau makan, kunci jawaban ujian, dan pukulan ke dinding sehingga
punggungmu sakit.” Jin berujar panjang.

“Bagaimana kau tahu?” tanya Namjoon kasar, sedikit mendengus di akhir kalimatnya.
“Yang terakhir karena kau selalu berjalan bungkuk setelah dari belakang sekolah,” jawab Jin
santai, setelah itu menyunggingkan senyum lebar hingga kedua matanya menyipit.

Jin bukan hanya memperhatikan Namjoon di kampus. Begitu banyak orang yang diamatinya
dan ia suka berteman dengan siapa saja. Dan bagi Jin, Namjoon adalah seseorang yang
memerlukan pertolongan—ia tidak dapat memprediksi sampai berapa lama lagi lelaki itu
akan bertahan ditindas seperti itu.

“Apa yang kau mau?” Pertanyaan serupa di waktu yang berbeda. Déjà vu.
“Sudah pernah kubilang, jadilah temanku,” jawab Jin masih dengan senyuman itu.
“Cih.”

Dan Jin masih tersenyum, meskipun Namjoon enggan melihatnya.
“Berhentilah tersenyum seperti itu,” rutuk Namjoon.

*

“Apa kau benar-benar tidak mau berteman denganku?” tanya Jin, tentu saja ia masih
berusaha membujuk Namjoon. “Kau suka buku dan musik, bukan?”
Kali ini Namjoon melirik ke arah Jin—hanya sejenak, tetapi Jin merasa ada kesempatan
terbuka untuknya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 31, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Days between usWhere stories live. Discover now