Part 2

13.2K 1.9K 89
                                    

Ayah asyik membolak-balik koran di teras sepulangnya diriku dari kampus. Bunyi pagar yang melengking ketika terbuka tidak menganggu konsentrasinya. Ayah menikmati sore ditemani segelas kopi pahit kesukaannya dan piring berisi gorengan. Seperti biasa penampilannya sangat sederhana, kaus polos putih yang mulai kusam juga sarung. Menurutnya semakin sering dicuci hingga warnanya tidak seputih pertama kali baru dibeli, semakin enak dipakai.

"Yah, besok ada rencana pergi keluar nggak sama Ibu?" Kuhempas kursi di sebelahnya, menaruh tas di lantai lalu membuka sepatu.

"Kalau pulang itu salam dulu, Ca." Kepala Ayah terangkat, menggeleng melihat putrinya merasa tidak ada yang salah. "Besok di rumah saja kayaknya. Minggu kemarin kan kita baru jalan-jalan. Ibumu juga sepertinya ada kegiatan seharian di rumah Bu RT."

"Kalau gitu Caca pinjam motor ya, sekalian sama uang bensin sama uang saku."

"Memangnya uang sakumu minggu ini sudah habis?"

Kepalaku mengangguk ragu. Meski keluargaku memiliki tambahan penghasilan dari tempat kos, rasanya sungkan masih meminta uang pada mereka. "Kepakai buat persiapan ujian, Yah. Banyak yang harus difotocopy. Ibu ngeluh terus kalau nilaiku  vitamin C semua."

"Ya sudah. Dompet Ayah ada di saku belakang celana. Ambilkan kemari dompetnya. Celananya ada di gantungan pintu. Jangan lama-lama keburu ibumu pulang dari warung." Aku menaruh sepatu di bawah kursi dan bergegas mengambil dompet Ayah di gantungan baju kamar orang tuaku.

Dompet itu kusodorkan setelah kembali ke teras. "Boleh sekalian sama uang jajan, Yah? Lagi pengin bakso nih. Butuh asupan gizi biar ada tenaga buat belajar," ucapku lancar. Segala keraguan hilang bila menyangkut soal makanan.

"Kamu tuh paling pintar ngomong. Memangnya Ayah nggak tahu kebiasaan kamu kalau habis makan pasti selalu  ketiduran." Ayah mengeluarkan selembar uang kertas berwarna merah dan hijau." Seratus buat besok. Nah yang dua puluh ribu buat jajan."

"Nggak cukup, Yah. Baksonya harganya enam puluh ribu."

"Mahal banget, Ca. Kamu beli di mana? Restoran?"

Bayangan sebuah kios bakso yang belum lama kulewati melintas. Aroma lezat menggoda hidung. Suasana kios selalu penuh. Dari kacamataku itu pertanda makanannya wajib dicoba. "Bukan, tuh di ujung gang. Di pinggir jalan. Baru buka."

"Lah kok harganya mahal sekali? Baksonya sebesar bola sepak itu ya."

Aku nyengir. "Nggak, ukurannya biasa. Cuma Caca mau beli dua porsi."

"Dasar. Kamu sama saja ibumu. Soal makanan pasti mintanya yang ektra. Kamu nggak takut gemuk, Ca? Anak teman Ayah semua metode diet dicoba biar bisa kurus tapi nggak berhasil. Kasihan, sampai bapaknya ikutan stres."

Kepalaku menggeleng. "Gemuk atau kurus bukan ukuran pasti kebahagiaan, Yah. Lagian menurut riset yang belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, proporsi tubuh Caca sekarang udah paling pas. Sebutan seksi atau bahenol sih lewat. Sekarang era baru, Yah. Era milenial. Namanya wahwow," ucapku sesuka hati. Ayah bukan pemerhati mode atau aktif di sosial media. Pakai handphone saja kadang masih suka minta bantuan cara menggunakan beberapa aplikasi. Jadi Ayah pasti percaya saja apa yang keluar dari mulutku meski hanya kata tanpa makna.

Kening Ayah berkerut. "Wahwow itu bahasa apa? Inggris, ya? Ayah baru dengar."

Aku berusaha tidak tertawa melihat raut bingung sekaligus takjub Ayah. Ia pasti mengira pengetahuan Putrinya bertambah pesat sejak kuliah. "Maksudnya dari perut ke atas, Wah. Kalau perut ke bawah, Wow," kataku dengan penuh ekspresi seperti iklan di televisi.

Ayah mengeluarkan dua lembar uang kertas berwarna hijau lalu kembali membaca koran. Senyumnya berubah kecut, mungkin berpikir apakah putrinya masih waras. "Semoga saja ada lelaki di luar sana yang sepemikiran sama kamu ya, Nak." 

Between Us (Completed) حيث تعيش القصص. اكتشف الآن