Bisakah?

9 0 0
                                    

Hari itu tidak ada yang berbeda. Gadis bernama Hazel itu masih menikmati kehidupannya seperti biasa. Walau ia termasuk gadis cacat namun ia memiliki semangat hidup yang tinggi. Itu berkat kedua orangtua dan juga teman-temannya. Awalnya memang begitu.

"Hazel, ada yang ingin ibu bicarakan denganmu."

Di suatu sore yang indah dan ketika hati Hazel tampak begitu bahagia juga wajahnya yang memancarkan kepercayaan diri, orangtuanya memanggil gadis manis itu. Jarang. Atau mungkin tidak pernah sekalipun mereka berkumpul seperti ini lagi. Walaupun ia tidak mendapatkan penolakan dari kedua orangtuanya, tapi Hazel menyadari semua perubahan yang terjadi di hidupnya.

Ia cukup bersyukur atas dukungan kedua orangtuanya tapi tidak dengan perlakukan mereka. Anggaplah Hazel gadis buta dan pincang yang tidak bisa melakukan apapun saat ini.

Beruntungnya, kaki tersebut dapat ditutupi dengan kaki palsu yang diberikan kedua orangtuanya tapi tidak dengan matanya. Gadis itu tidak bisa melihat keindahan dunia kembali setelah ia mengalami kejadian tragis yang menimpa dirinya beberapa bulan yang lalu. Mungkin ini menjadi alasan utama kenapa rumah ini tampak sangat dingin.

"Ayah dan Ibu akan berpisah." Itu suara bass milik ayah yang entah terdengar spontan. Tidak ada keraguan atau pun rasa menyesal dalam ucapannya. Juga seperti ini semua sudah direncanakan sejak awal. "Kita sayang Hazel dan Hazel tau itu, kan?"

Hazel diam. Ia masih mencoba untuk mencerna keadaan yang terjadi di sekitarnya. Ada luka mendalam yang menggores hatinya. Apa semudah itu bagi mereka untuk mengatakan keputusan yang mereka ambil? Apa aku tidak memiliki arti bagi mereka? Beribu pertanyaan menghampiri isi kepala Hazel saat ini.

Kehidupannya sudah menyedihkan, bukan? Tidak bisa melihat yang artinya ia hanya berjalan menggunakan tongkat dan menerka-nerka lingkungan sekitarnya. Selama sebulan lebih ia mempelajari dunianya secara otodidak tanpa bantuan siapapun. Hanya sesekali ayah atau ibunya memberikan bantuan. Kakinya memang masih berfungsi dengan baik tapi apa mereka tidak tahu seberapa lelah Hazel untuk menahan rasa aneh pada kaki palsu yang kini menemani langkahnya? Apa mereka pernah berpikir bagaimana Hazel berusaha untuk bisa menggunakan kaki palsunya dengan baik?

"Tidak ada yang bisa diperjuangkan lagi, Zel. Ayah dan ibu sudah memiliki kehidupan masing-masing."

Bolehkah Hazel mengatakan mereka egois? Lihat bagaimana dengan mudahnya mereka mengucapkan kata-kata konyol seperti itu? Mereka punya kehidupan mereka masing-masing? Hazel tersenyum sinis. "Hazel bebas memilih tinggal di manapun. Walau ayah dan ibu pisah, Hazel tetap anak kita berdua. Bukan status Hazel yang berubah," ujar Ibu menambahi. Kali ini terdengar sedikit getir. Hazel tidak bisa menerka-nerka perasaan ibunya. Baginya semua seperti puzzle yang tidak bisa ia selesaikan.

"Hazel?" panggil ayah membuatnya menatap keduanya. Lagi, Hazel hanya bisa tersenyum. Ia tidak bisa mengucapkan apapun selalu hanya tersenyum.

Ia bangkit dari duduknya, meraih tongkatnya sejenak. "Kalian sedang tidak meminta pendapatku, kan? Lagipula, kalau aku menolak, apa kalian akan kembali? Tidak mungkin memaksakan sesuatu yang tidak membuat kalian bahagia. Aku hanya akan mengikuti alur kehidupanku." Hazel menjawabnya dengan lantang. Suaranya tegas dan sarat akan kekesalan. "Oh iya, masalah tinggal, aku akan tinggal bersama Bibi di Edentria. Ah, tidak. Aku akan hidup mandiri di sana. Itupun jika kalian mengijinkan."

Karena setidaknya, jika di sini tidak ada yang mengharapkannya, Hazel berharap di sana ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan. Termasuk dihargai dan dianggap ada.

FIN

Akademi Sastra Fanfiction RoomsWhere stories live. Discover now