Renjun menatap bingung pada papan LED yang menyala terang di atas pintu kaca sebuah apotek. Kebingungannya bertambah saat Mark tanpa berkata-kata turun dari mobil dan berlalu ke dalam apotek. Orang ini kenapa sih?

Saat Mark kembali ke mobil dengan menenteng kantong plastik putih—entah apa isinya—Renjun menatap dengan kernyitan yang tidak ia tutupi.

“Jangan menatapku seolah aku akan memakanmu hidup-hidup begitu. Ini,” laki-laki itu menyodorkan kantong plastik yang dibawanya ke depan wajah Renjun.

Tanpa menjawab, Renjun menelaah kantong plastik yang di dalamnya terdapat pada beralkohol, salep, dan plester—plester moomin?

“Jangan hanya dipandang,” tegur Mark di balik kemudi. Lagi-lagi Renjun hanya mengangguk, tanpa berbicara segera menjarah isinya dan sibuk membuka segel kasa beralkohol—dengan gerakan payah dan kikuk karena jarinya terluka. Mark menatap Renjun tidak sabar sebelum mengambil alih komando.

Ouch—pelan-pelan…” Renjun mendesis saat serat berbalur alkohol itu menyentuh lukanya cukup keras.

Mark berdecak dan tertawa mengejek. “Kau masih cengeng seperti biasa, ya.”

Oke dia tidak terima.

“Aku tidak cengeng, ini memang sakit tahu! Kenapa kau tidak coba menggores jarimu dengan besi tajam?” protes Renjun sambil meringis pelan. Perih.

“Entahlah aku sudah pernah melukai perutku hingga tergores delapan senti. Kau tidak ingat? Bukankah kau yang membersihkan lukaku?”

Renjun mengatupkan bibir dan menelan kembali kata-kata pembelaan yang sudah dikumpulkannya. Wajahnya ia palingkan pada jendela mobil ketika rasa panas menjalar di pipinya. Ia selalu malu dan salah tingkah jika mengingat hal tersebut—karena alasan apa hanya Renjun dan Renjun saja yang tahu.

“Wajahmu memerah,” celetuk Mark seusai melilitkan plester moomin.

“Diam,” balas Renjun singkat dan tajam. Dia juga tahu, dia bahkan bisa melihatnya lewat pantulan wajahnya di kaca jendela yang cukup gelap.

Ia melirik melalui ekor matanya saat Mark mengoleskan salep yang terasa dingin di kulitnya yang tadi terbakar. Pemuda berwajah tirus itu hendak menarik tangannya dari genggaman Mark hanya untuk mendapati genggaman pemuda itu yang makin erat.

Renjun membuat kesalahan dengan menengok ke samping. Lagi-lagi ia harus menghadapi mata tajam pemuda bermarga Lee itu.

“Kau mungkin akan dapat masalah setelah ini. Terutama—kau berhutang banyak penjelasan pada Jaemin,” ujar Mark setelah beberapa detik berlalu tanpa suara. Renjun nyaris percaya Mark sedang bersimpati padanya.

Tapi Renjun tidak bisa meninggikan harapannya begitu saja. Yang ada di hadapannya ini adalah seseorang yang pikiran dan hatinya tidak tertebak—itupun kalau dia benar masih punya hati.

“Kalau kau sudah tahu, kenapa hyung melakukannya?” cetus Renjun. Nadanya agak tersendat lewat gigi-giginya yang saling mengerat.

Sebuah senyum tersungging di bibir itu—dan Renjun sama sekali tidak menyukainya. “Melakukan apa?”

Dasar diktator.

Race Of The Heart [COMP.]On viuen les histories. Descobreix ara