Maaf

2.7K 316 43
                                    


"The only wrong thing would be to deny what your heart truly feels." – Krist Perawat.

...

BRAK!

Suara dentuman meja yang dipukul sesuatu memenuhi seisi kelas. Kami semua terdiam dan refleks melihat ke arah sumber suara. Singto..

Singto menoleh memperhatikan kami, "Aku tidak perduli dan tidak mau tahu apa yang kalian lakukan tapi tolong hargai. Sekarang waktunya belajar." Aku menahan napas. Mata kita bertemu. Betapa aku sangat merindukannya...

"Singto kau menyebalkan sekali!"

"Apa sih orang itu?!"

"Tidak asik dasar!"

Teman-temanku yang lain kembali ke meja masing-masing sambil bersungut-sungut mengutuk Singto. Dan kami baru sadar bahwa sudah ada Pak guru di depan kelas yang memperhatikan kami sambil menahan tawanya, "Sudah, sekarang mari kita mulai."

Aku tidak perduli apa yang dikatakan oleh Pak guru. Aku masih terus mengingat tatapan Singto. Tatapannya padaku mati. Ia membenciku. Seharusnya aku tahu bahwa besar kemungkinan ia akan seperti ini. mungkin memang aku harus menyerah saja...

....

Side Story

Istirahat untuk makan siang digunakan Singto untuk melamun—salah—dia sedang memperhatikan Krist yang sedang tertawa bersama teman-temannya di taman sekolah. Jarak Singto jauh dari Krist yang membuatnya aman-aman saja dan lokasi duduknya sangat terpencil tetapi dapat mengawasi seluruh taman sehingga ia dengan mudah memperhatikan Krist. Singto menghela napas. Krist bisa saja tertawa tapi ia tahu bahwa ada yang salah dengan anak itu. Tepat setelah ia membentak di kelas tadi, Krist langsung memberinya tatapan itu.

Tidak. Krist tidak bersalah. Singto paham itu. Jika ada yang harus disalahkan, maka dirinya lah yang bersalah. Diam setelah memaksa seseorang berkata jujur itu sangat jahat sekali. Singto seperti bajingan di matanya sendiri. Entah bagaimana cara untuk menebus kesalahannya.

"Kau menyakitinya," seseorang mendekati Singto, ikut duduk di sebelahnya dan menatap objek yang sama.

Singto menoleh, "Bisakah kau tinggalkan aku?"

"Tidak. Aku harus melihat wajah surammu! Hahaha," Orang itu tertawa terpingkal-pingkal. Entah apa yang ia tertawakan, Singto tidak perduli.

"Nana, kumohon. Diamlah." Ya, orang itu adalah Nana. Sebenarnya Nana hanya tidak sengaja melewati taman dan menemukan keberadaan Singto.

Nana tersenyum, "Aku mengerti kenapa kau bisa seperti ini karena seorang Krist. Caranya mencintaimu begitu tulus. Aku yakin, dia sangat tersakiti olehmu. Kau pasti tahu fakta mengapa ia tidak masuk seminggu ini, kan?"

"Dan kau pun mau tak mau mengakui juga kalau sebenarnya kau mencintainya, apa aku salah?" lanjut Nana.

"Ini... rumit sekali." Singto berkata datar masih tetap memperhatikan Krist.

"Tidak, Singto. Kau yang membuatnya rumit. Ini sangat sederhana sekali. Bukankah Krist seperti itu? Dia tidak menuntut apapun tapi kau malah mengacuhkannya. Menganggap seperti ia tidak ada."

"Aku tidak pernah seperti itu!"

"Hei, ke mana Singto yang pintar? Apa kau menutup mata dengan apa yang kau lihat sekarang? Siapa pula yang perduli dengan kacamata bodoh yang ia pakai hanya untuk menutupi matanya yang sembab? Kau kira aku tidak tahu?!"

"Tidak. Kau tidak akan pernah tahu. wake up. You just pretending to know."

"No! YOU wake up! Aku mengenalmu sejak kita kecil! Aku tahu bagaimana kau sangat mengutamakan Krist! Mengaku saja lah. Kau juga harus memikirkan perasaan Krist. Kau hanya akan kehilangan Krist jika kau terus seperti ini!" bentak Nana sambil berjalan pergi. Ia tak habis pikir, Singto yang sangat jenius itu sangat bebal untuk urusan seperti ini.

The One I LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang