Bab 3 - How Could You?

47 4 0
                                    

SAAT-saat seumuran gue ini adalah masa-masa yang sangat menekankan persaingan dalam segi apa pun. Otak, ketenaran, materi, prestasi, ambisi, korupsi, kolusi (yang ini nggak), bahkan style sekalipun. Sewaktu ada yang menggunakan gelang power balance ke sekolah, hampir semua anak SMA gue beli gelang yang sama, walau ada yang palsunya juga. Sewaktu ada yang pake gigi kawat ke sekolah, ikut-ikutan yang lain pake juga, walau ada yang pasang di tukang gigi. Sewaktu yang satu pake BB, yang laen juga pake. Dan gue cukup bangga dengan memposisikan diri gue sebagai pengamat style remaja, walaupun gue ngga punya gelang PB, ngga pake kawat gigi dan juga BB. Seorang pengamat narkotika kan ngga harus pake narkoba.

Dan saat dunia sedang sibuk dengan modernisasi, juga saat gue di ambang transformasi umur, Nyokap malah ngerancang pesta sweet seventeen gue dengan mengesankan (baca: mengenaskan).

"Bentar lagi kamu 17 tahun, kan, Put?" Sekadar info, di rumah gue dipanggil Putri.

"Iya, Bu."

"Kita bikin pesta, ya!" Dengan mata berbinar-binar, sambil tepi bibir menyentuh telinga.

"Yang bener, Bu?"

"Bener, kamu undang aja semua temen-temen kamu."

"Asyik! Fitria, Dina, Dita, Bang Boy, Dewi, Herli, Febri, Ica..." gue membuat daftar, tiba-tiba....

"Kita undang juga Organ Tunggal."

"O... organ Tung-gal?"

"Kita undang penyanyi dangdut."

"Da-da... da-dang... dangDUT?"

"Kita dangdutan dengan MERIAH!"

"Whaaatttzzz...!?"

Gue langsung ngebayangin seorang penyanyi dangdut pake baju macan tutul sedang nyanyiin lagu "Alamat Palsu"-nya Ayu Ting-ting, saat Nyokap dengan bahagia salaman sama ibu-ibu yang datang pake kebaya warna-warni, dan gue jalan ngangkang keluar pake kain sarung langsung menyapa temen-temen gue yang lagi pada makan soto. Gue mulai bingung ngebedain pesta sweet seventeen sama acara sunatan. Oh, God, I'm a girl!

Dengan itu semua, gue berencana kabur dari rumah di hari ulang tahun gue, dan berhasil. Gue treatment ke salon, ketemu sama tukang salon yang gue sinyalir terobsesi jadi psikolog.

"Kamu ini, mandinya suka malam-malam, ya?" sambil mijitin leher gue.

"I... iya, Mbak. Kok bisa tau?"

"Soalnya biji anginnya banyak banget."

"Ohhh..." di dalam hati gue, kalo gue bilang gue jarang mandi, gimana? Trus kalo yang dia pegang bukan biji angin tapi biji salak, gimana?

"Kamu jarang sisiran, ya?"

"I... iya, Mbak. Kusut, ya?"

"Lumayan nih."

"Ohhh..." kalo gue bilang gue sisiran sebulan sekali, gimana? Itu pun Nyokap harus mengikat gue di kursi plastic.

"Rambut kamu bagus, deh."

"Makasih, Mbak."

"Kamu pasti punya salon, ya, di rumah?"

"...#..!?"

Obrolan ini menginspirasi gue untuk bingung tentang apakah seorang tukang salon memang akan mencari tukang salon lainnya untuk merawat dirinya? Lalu bagaimana dengan tukang sate? apakah dia juga makan nasi goreng? Apakah tukang pijit akan memijit dirinya sendiri? Atau apakah tukang potong hewan akan memotong dirinya sendiri?

Putih Babu-babu by Neny SaputriWhere stories live. Discover now