Bab 1 - Survive

139 8 0
                                    

BANYAK cara psikologis untuk membaca karakter, sifat, atau sesuatu yang ada dalam pikiran seorang manusia. Entah itu pembacaan karakter melalui tulisan, gambar, soal-soal, maupun interview oleh seorang psikiater. Tapi belum ada ilmu untuk mengetahui secara pasti apa yang ingin seseorang lakukan dalam kurun waktu satu jam, satu menit, atau bahkan satu detik ke depan.

Manusia sulit ditebak, bahkan sampai sekarang belum ada benda semacam USG ataupun CT SCAN yang mampu me-rongen buat ngebaca pikiran manusia. Entah kenapa begitu rumit hingga teknologi pun tak mampu berperan dan menjangkaunya. Kalau aja ada benda yang mampu menerjemahkan gelombang-gelombang otak menjadi kode-kode yang bisa dibaca, mungkin setiap kali guru nanya di depan kelas, gue bakal bisa langsung tau jawabannya hanya dengan menyetrum alat itu ke bagian jidat guru gue. Mengenai tindakan ini, ada dua hal yang mungkin terjadi. Pertama, gue bisa menjawab pertanyaan lancar dengan bonus 100. Atau yang kedua, gue langsung digebuk pake penghapus papan tulis dan disuruh gerus-gerus toilet.

Selain susah ditebak, makhluk complicate yang bernama manusia ini banget-banget ngga sama. Jangankan dari segi tingkah, semua atribut di muka seseorang dan orang lain. Apa, sih, yang bikin beda? Sedikit perbedaannya bisa bikin ciri yang beda jauh banget. Seorang ahli bedah plastik pernah bilang, "Kalo jarak antara hidung dan bibir seseorang manusia lebih sempit dari lebar matanya, maka manusia itu bakal cakep banget. Kalo jaraknya sama dengan lebar matanya, manusia itu bisa jadi biasa aja. Kalo jaraknya lebih lebar daripada matanya, bisa jadi orang itu jelek banget."

Mengetahui fakta itu, di sekolah, gue pernah seharian melototin mata gue sambil sok ramah, karena katanya karisma seorang cewe terlihat dari keramah-tamahannya. Namun yang ada, orang malah mengira gue adalah korban dari mutasi gen.

Dan dengan usaha gue untuk tampil memukau itu, terkadang gue membayangkan kalau hidung gue dan hidung Katy Perry tertukar tanpa diduga-duga dalam sebuah insiden dramatis. Misalnya ketika Katy Perry kabur dari wartawan dan berpapasan dengan gue.

"Please, hide me..."

"Wa-what? kill... kill me?"

"No, no, hide me! Hide me, please!"

Dan gue yang tanggap dengan situasi itu pun punya ide jitu.

"How about you, e... you... 'nya-nyamar'?" Oke, gue lupa bahasa Inggrisnya "nyamar".

"Me-memar?"

"No, no! no memar, mmm..."

Sepi....

"How about u'r nose?"

"My... my nose?"

"Yeah, we could change our NOSE!" (Dengan mata melotot bahagia, menggenggam tangan Katy Perry sambil numbuhin sayap).

"THAAAT'S A GOOD IDEAAA... BRILIANT! Owh, God, thank's owh owh. I'm FREEE..."

(Dengan slow motion bergandengan tangan sambil menari ngebor di bawah koin-koin emas yang berguguran, diiringi lagu "Heal The World"-nya Michael Jackson).

Ok, lanjut. Setelah khayalan setengah mimpi yang ngga mungkin ada sutradara tertarik membuat adegan seperti itu (terlebih pemeran utamanya adalah gue). Gue mau dinilai sebagai cewek normal yang alami. Dari jutaan spesies manusia dengan jutaan karakter pula, gue ingin memberitahukan kepada dunia bahwasannya ada spesies semacam gue. Perkenalkan, gue "Neny Saputri", cewek kelas tiga SMA, umur 16 tahun, yang bingung nentuin universitas. Yang ngelewatin masa-masa SMA gue dengan jutaan hal abnormal, yang praktis ngebentuk pribadi gue jadi abnormal juga. Terlalu beratnya tanggungan hidup gue yang posisinya di ujung tanduk karena hampir tamat SMA ini, ternyata berdampak pula terhadap psikologis gue. Gue jadi suka berbicara sama nasi, ngejepit tangan di jendela, dan bertanya-tanya kalo gue anak siapa.

Pernah Nyokap mau membawa gue ke psikiater, tapi gue bilang ke Nyokap dengan tatapan nanar, "Oh, Ibuku, ketika tiada lagi seorang pun yang percaya bahwa anakmu ini masih normal, aku ingin Ibu menjadi orang pertama yang merangkulku, mendekapku, dan meyakinkan aku, bahwa aku ini... istimewa."

Dan berhasil, Nyokap ngga jadi membawa gue ke psikiater, soalnya Nyokap buru-buru membeli dua buah obat kompres. Satu buat gue, satu lagi buat dia.

Walaupun banyak sekali kejadian di hidup gue, entah kenapa gue terkadang masih merasa bosan. Menjadi orang dengan hidup paling flat sedunia bisa jauh lebih parah daripada menderitanya seorang korban KDRT. Semoga kengelanturan gue ngga berlanjut.

Well, gue terkadang menginginkan ada hal super dramatis yang terjadi di kehidupan gue, misalnya fakta bahwa ternyata orangtua gue adalah orang kaya yang berpura-pura hidup sederhana untuk mendidik gue agar ngga berfoya-foya, atau bahwa gue adalah anak kandungnya SBY, atau lagi gue dan Gita Gutawa adalah saudara kembar yang terpisah akibat gue terhanyut di sungai. Hal-hal yang nyaris tidak mungkin itulah yang akan kita temukan di film, dan yang nyaris tidak mungkin itu pulalah yang kita cari. Bayangin aja kalo film isinya cuma cerita biasa tanpa ada konflik, misalnya film tentang pecandu narkoba, ada dua hal yang mungkin terjadi pada bagian ending-nya, dia mati karena OD atau dia sembuh di panti rehabilitasi. Ngga pernah ada kejadian pecandu narkoba terus menggunakan narkobanya dan akhirnya dia hidup bahagia selamanya. Tamat!

Kenapa seseorang yang merasa hidupnya datar alias flat biasanya suka sekali menonton TV, membaca komik atau novel? Jawabannya, karena cuma di sanalah hidup bisa jadi sangat berzig-zag (bahasa lain dari berwarna). Film adalah tempat di mana orang-orang yang hidupnya flat berimajinasi kalau dia masuk dalam bagian film itu, masuk dalam kebahagiaannya, atau terlibat dalam kesedihan maupun konfliknya.

Gue adalah salah satu penggemar film-film Hollywood, terkadang Bollywood. Dan hebatnya, setiap film bagus yang gue tonton di TV, bakal sangat gencar-gencarnya gue promosikan, dengan mencari DVD bajakannya. Dan ketika temen gue menonton itu, yang tentunya dengan didampingi oleh gue, gue merasa bangga banget dan turut berbahagia dengan pemikiran, "Ngga sia-sia gue promosiin." Bayangannya, apa jadinya temen gue kalau gue tidak sempat memperkenalkan film itu ke dia, atau bagaimana mungkin dia mampu bertahan hidup tanpa pernah melihat film itu. Dan pola yang selalu terjadi adalah, gue merasa orang pertama yang secara beruntung menemukan film itu ngga sengaja tergeletak di jalan minta diadopsi. Atau yang lebih parah, gue berasa kayak film itu gue sendiri yang produksi.

Tapi dengan segala hal yanggue lakukan, gue sebenarnya paham banget kalau hiburan yang kita lakukan untukdiri sendiri sebenarnya tidak banyak menolong. Hal yang paling menolong ituadalah dengan kamu menerima keberadaan diri sendiri, menghargai diri sendiri,dan yang paling penting—mensyukuri. Karena ketikakita menerima segala sesuatu dengan bersyukur, hal terburuk yang terjadisekalipun bisa kita tertawakan. Let's survive!

Putih Babu-babu by Neny SaputriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang