(1) Berawal

8.6K 1K 224
                                    

Sunyi kerontang kos yang dihuni oleh cowok-cowok di ujung komplek. Penghuninya pada angkrem di kamar masing-masing. Maklum cuaca lagi panas juga.

Nggak lama, sebuah taksi mendarat mulus di depan gerbang kosan satu lantai yang bangunannya gede kayak keraton itu. Dan cowok bermuka ganteng mirip cilok jumbo bersama makhluk mungil digendongannya turun dari taksi.

"Berapa, pak?" tanya si cowok terpogoh-pogoh. Supir taksi yang merupakan bapak berumur setengah abad itu mengamati cowok berpipi gembul yang baru saja menumpang di kendaraannya.

Rasa iba langsung menyambangi. Ganteng sih, tapi melihat bagaimana repotnya si cowok ini membawa makhluk beriler yang popoknya penuh di gendongannya jadi nggak tega sendiri.

"Bawa aja, mas."

"Kok gitu, pak?"

Si bapak tersenyum. "Buat ongkos beli susu anaknya."

Tak tahan mengumpat, secepat si taksi hilang secepat itu pula mulut Brian Arjuna mengucap kata kotor.

"Anaknya your mouth!?"

Brian membenarkan tasnya. Sambil berjalan kerepotan masuk ke dalam halaman kosan yang cukup luas. Dia langsung disambut dengan cowok bermuka mirip Chicken Little.

"BUJUG WOY!"

"Bacot, Jaenudin." ingin rasanya Brian meludah ke arah anak pemilik kos tersebut. Sayangnya, Brian masih ingin tinggal lebih lama di tempat itu. Seenggaknya sampai dia lulus kuliah.

Suara Jaenudin Candra sudah mirip dengan alarm brimob yang ngasih tanda buat berkumpul tepat waktu. Muncullah tiga orang lain dari sarang masing-masing.

"Rusuh banget .... EEEE BANG BRIAN!" - Wendi Ferdinan, 19 tahun, bully able.

"Buset, Bri! Hamilin siapa lu ujug-ujug ada anak?!" - Sakka Harditama, 20 tahun, lower able.

"Udah gatahan pengen punya anak apa gimana, bang?" - Darrel Kurniadi, 18 tahun, new freelancher.

Brian oper dedek kecil yang dari tadi dia bopong dari kantin kampus sampai ke kosan. Dia kasih ke Wendi yang pas banget ambil jurusan kedokteran. Walau bukan dokter anak juga.

"Mau lu apain nih bayi?" tanya Sakka dengan sejuta ketertarikan. Dia suka sama anak kecil, jadi lihat si dedek rasanya pengen nyedot ubun-ubunnya katanya.

Ngeri rek ;-)

"Nemu dimana bayi sebagus ini, bang?" Darrel yang tadinya nyender di dekat pintu, mulai merapat. Melihat lebih jelas muka si dedek yang bikin Sakka hampir saja khilaf nyedot kepalanya.

Jae yang sebelumnya heboh sekarang malah sedakep madep Brian. Dia nampaknya mencoba mikir dengan otak kecilnya. "Bri, lu mau adopsi anak ini?"

"Ya kaga lah! Gua masih waras kali, Jae."

"Gak usah ngegas tole!"

Jae, tarik nafas. Buang dari belakang :))))))

"Gua gak mau ambil resiko kalau emak gua ngecek kosan ntar." Jae sukses bikin empat pasang mata noleh ke dia semua. "Bayi ini gak bisa tinggal di sini."

"Bang," panggil Wendi. Dengan jurus muka melasnya. "Gua pengen adopsi anak ini masa."

"Bodo amat, njir!" - Jaenudin Candra, 21 tahun, wakil ceo kosan.

"Gak bisa pokoknya." Jae tetep keukeuh. Sedangkan empat temennya lagi melotot ke dia semua.

"Tega lu, Jae. Parah." Sakka jadi orang pertama yang menyudutkan Jae.

"Gua gasuka anak kecil sih. Tapi, gua gabisa biarin dia tidur di luar." Darrel dengan ke-sok-suciannya melemahkan Jae.

"Gua mau adopsi dia, bang." Wendi benar-benar nggak bisa menahan hasrat kegemasannya pada si dedek.

Ayah [DAY6]Where stories live. Discover now