Resital musim dingin selalu menjadi penutup tahun paling ditunggu bagi mahasiswa jurusan seni dan desain di Kyunghee. Juga mimpi buruk bagi Renjun karena di saat orang-orang asyik bergelung di balik selimut, ia dan teman-temannya harus banyak begadang menggarap properti dan desain panggung. Tapi, yah, Renjun harus cukup bersyukur dia bukan anak teater. Dia tidak bisa membayangkan dirinya harus berputar menari-nari dan bernyanyi di sepanjang panggung yang luas itu.

Tapi kalau dipikir-pikir, minggu-minggu padat penuh tekanan itu seolah terbayarkan melihat hasil akhir kerja keras mereka. Tidak bisa dibilang akhir juga karena resital baru dibuka nanti malam. Namun Renjun cukup puas melihat background panggung dan lampion-lampion gantung yang membutuhkan tenaga ekstra untuk menyelesaikannya—Renjun merelakan satu minggu tidak menonton ulang serial moomin, benar-benar minggu mimpi buruk. Matanya masih perih efek malam-malam matanya terpapar cahaya biru dari laptop, jendela adobe illustrator menjadi konstan pada malam-malam itu akibat banyaknya revisi untuk desain final poster dan background panggung.

“Rasanya aku mau mati saja,” Wooseok menjatuhkan pantas di atas kursi empuk di samping Renjun.

“Jangan berlebihan, setidaknya kau tidak harus terus menyanyi atau mengotak-atik sakelar lampu sampai malam,” sahut Renjun setengah tertawa.

“Huh, kau benar. Aku berpapasan dengan Changbin di koridor dan dia terlihat seperti mayat hidup. Kau pikir pentas kali ini akan berhasil?”

“Kita sudah mempersiapkan dengan baik jadi kurasa tidak akan ada masalah,” ujar Renjun pelan.

“Kau benar, aku tidak sabar melihat Jaemin menjadi Phillip. Pasti—”

“—konyol sekali.”

Mereka berdua bertatapan sebentar lalu tertawa bodoh saat menyadari mereka mengatakan hal yang sama di waktu bersamaan.



Auditorium itu dipenuhi riuh redam tepukan tangan orang-orang yang melakukan standing ovation. Wajah-wajah lega, puas, dan senang silih berganti terlihat pada para pemain yang kini sedang melakukan certain call. Sebagian audiens kembali mengamankan duduknya—para wali dan profesor. Sebagian masih betah berdiri bahkan bersiul-siul heboh—para mahasiswa yang datang mendukung temannya. Dari balik panggung Renjun bahkan bisa mendengar suara siulan Jinho dan Hwall yang berada di ruang kontrol lighting.

Man, akhirnya resital ini berakhir. Kuharap Ten-sunbae mau mentraktir kita makan barbeque,” celetuk Wooseok yang masih setia menemani Renjun dari awal berjalannya resital.

“Yang ada di kepalamu memang hanya makanan ya?” kekeh Renjun geli. Pasalnya sudah tak terhitung berapa kali Wooseok mengeluh ingin makan barbeque dan samgyeopsal malam ini.

“Oh, mereka kemari,” pekik Wooseok antusias saat para pemain mulai berjalan ke balik panggung setelah membungkukkan badan bersama-sama.

Renjun meringis membayangkan kebisingan yang sebentar lagi akan terjadi. Benar saja, begitu para pemain melangkahkan kaki di balik tirai, sorak sorai penuh euforia dan pelukan di sana-sini meledak seperti kembang api.

“Aku ingin berfoto dengan Sugar Plum Fairy! Soojung dimana Kau?”

“Kau tahu Gyuri mungkin setelah ini aku akan memanggilmu Mother Ginger saja.”

“Sialan kau Lee Chan! Mulutmu mau kusobek, ya!?” Derai tawa pecah saat itu juga diikuti tangan Gyuri yang mencakar-cakar liar di udara.

“Phillip! Man kau luar biasa tampak malam ini.”

“Sepertinya kau harus antri Hwall, lihat saja para wanita itu sudah membuat barisan antrian untuk berfoto bersama Jaemin.”

Renjun mengamati hiruk pikuk yang terjadi dengan kalem di sudut ruangan. Senyum tak bosan mendarat di wajahnya melihat tingkah konyol teman-temannya. Ia terkikik geli melihat Chan yang sibuk menghindari cekikan Gyuri dan Jaemin yang berusaha menembus barikade antrian ‘ayo-berfoto-bersama-Jaemin’. Renjun menggeleng-gelengkan kepala dalam diam. Dalam hati ia lega satu beban sudah terangkat, setidaknya ia bisa menikmati sisa liburan musim dingin dengan tenang.

“Bukankah itu Jeno?” gumaman  samar Wooseok tertangkap telinganya. Seperti autopilot, kepalanya mengikuti arah pandang teman satu jurusannya itu.

Wooseok benar, yang berdiri dengan tenang namun auranya kuat menguat di udara adalah Jeno. Laki-laki itu tampak berkarisma hanya dengan tuksedo hitam dan rambut yang menampakan dahinya. Dan dia tidak datang sendiri. Di sampingnya seseorang dengan paras menawan tengah menenteng sebuket besar bunga yang diarahkan pada Jaemin. Senyum manis khas milik Haechan mengembang sambil mengucapkan pujian untuk pemeran Phillip.

“—Jun. Renjun! Mereka memanggilmu,” Wooseok menyikut lengannya pelan. Tampaknya Renjun terlalu asyik memperhatikan sampai tidak sadar Jaemin tengah mengisyaratkan untuk mendekat lewat lambaian tangannya. Tanpa ia sadari ia sudah melangkah ke arah tiga sahabatnya meninggalkan Wooseok yang kini terlibat obrolan seru dengan Changbin.

Renjun menggaruk tengkuknya canggung namun terhenti saat sebuah pemikiran melintas di kepalanya. Kenapa ia harus canggung? Seperti mereka tidak  bertahun-tahun menghabiskan waktu bersama saja.

“Injunii, lihat siapa yang datang,” Jaemin menyeringai seraya mengerling ke arah pasangan Lee di hadapannya. Satu tangannya yang tidak dipenuhi bunga mengalung di pundak Renjun.

Surprise. Surprise.” Haechan bersiul riang diikuti tawa Jeno.

“Sepertinya kalian sedang tidak sibuk ya?” ujar Jaemin menaikan volume bicaranya agar tidak tenggelam diantara kebisingan yang mengelilingi mereka.

“Tersanjunglah karena kami mempertaruhkan nyawa dengan membolos dari acara keluarga demi kau Jaemin. Phillip, huh?” balas Haechan jenaka mengundang tawa keempat manusia itu.

“Hamba merasa terhormat Yang Mulia,” balas Jaemin sambil menundukkan kepala. Tawa kembali pecah di antara mereka berempat. Perbincangan ringan kembali menenggelamkan mereka. Walaupun Renjun lebih banyak diam mendengarkan daripada menyumbang kata-kata. Entahlah, dia merasa kurang baik malam ini. Namun pemikiran itu ia tepis dengan alasan mungkin dia hanya kelelahan.

“Ngomong-ngomong, kalian lapar? Aku ingin makan pasta—”

“Hahahaha—Oh. Hei bukankah itu kakak Jeno?” lagi, suara Wooseok kembali menyentak Renjun dari dunia kecilnya—dan sejak kapan Wooseok dan antek-anteknya sudah berada di dekat Renjun?

Rupa-rupanya suara Wooseok tidak hanya menarik perhatian Renjun namun juga tiga manusia yang sibuk membicarakan pasta dan menu makan malam yang mereka inginkan. Juga hampir separuh kru dan pemain resital.

Mata Renjun memicing tajam ke arah jam dua belas dimana pintu belakang berada. Renjun dengan mudah mengenali bayangan Mark Lee yang berjalan angkuh ke arah perkumpulan kecilnya. Beberapa orang bahkan berbisik-bisik sambil melirik punggung pria itu. Mungkin wajahnya yang kelewat asing dan aura dinginnya terlalu mencolok di sini. (Dalam hati Renjun bersyukur Mark tidak nekat mengenakan jaket kulit dan sepatu bot bertali sebatas mata kaki)

“Hyung?” itu suara Jeno yang memecah keheningan singkat diantara mereka.

“Apa yang kau lakukan di sini?” kata-kata itu dilontarkan dengan santai, namun entah kenapa bulu kuduk Renjun meremang dibuatnya. “Tidak mungkin untuk memberiku bunga kan?”

Kalau suasananya normal dan hubungan mereka tidak seaneh beberapa tahun belakang Ini, Renjun mungkin akan tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Jaemin.

“Jangan bermimpi, aku kemari untuk memberi salam pada Ten.”

“Kau sudah menemuinya?” timpal Jaemin mengabaikan ketegangan tersembunyi yang menari di udara.

“Sudah. Dan dia kabur bersama pacarnya,” sahut Mark setengah mencibir.

Renjun terpana. Bukankah dua orang ini beberapa hari sebelumnya masih melakukan perang dingin? Keajaiban dunia mana yang ia lewatkan?

“Bagus kalau begitu. Kau mau ikut bersama kami?”

“Kami?”

“Kita berencana makan malam. Aku, Haechan, Jaemin, dan Renjun,” sela Jeno sebelum Jaemin sempat menjawab.

Mungkin Renjun berhalusinasi. Tapi ada yang aneh dari cara Jeno dan Mark saling bertukar pandang. Seperti mereka tengah berbicara dalam kode yang hanya mereka ketahui. Saat itu Renjun harap Mark berkata tidak. Atau ia berharap Wooseok akan mengajaknya ke kedai barbeque bersama Hwall dan Changbin.

“Oke.”

Renjun harus kabur. “Aku—”

“Deal! Hyung kau yang traktir.”



Di luar dugaan Renjun, makan malam kali ini berjalan dengan suasana netral dan baik-baik saja. Setidaknya tidak ada baku hantam terjadi, Renjun tidak bisa meminta lebih dari itu.

“Resital tahun ini mengesankan seperti sebelum-sebelumnya. Kau tidak mengecewakan Jaemin.”

“Tentu saja kau pikir siapa aku?”

Kalau digambarkan secara virtual di benak Renjun, ia akan menggambar sebuah selubung gaib yang memisahkan Mark dan dirinya dengan yang lain. Lagipula, kenapa Mark memilih duduk di depannya sih!? Tidak tahu ya Renjun tengah kesulitan menelan tortellini yang masih setengah porsi di piringnya?

“Tim desain dan properti juga melakukan kerja yang bagus kurasa,” celetuk Jeno sambil memutar siapa fettucine terakhir dengan garpu. Renjun nyaris tersedak.

“Tentu saja. Mereka banting tulang kerja rodi untuk menggarap background itu. Membayangkannya saja aku merinding. Renjun, kau dan teman-teman harus menuntut Ten hyung setidaknya untuk traktir makan siang,” Jaemin berkelakar dengan efek merinding dramatis.

“Jadi itu alasan kenapa kau terjaga sampai malam dan terlihat seperti zombie terakhir kali kita bertemu.”

Bunyi dentingan pisau dan garpu pada piring porselen seakan hilang. Musik klasik yang mengalun lembut di telinga mereka seperti berangsur-angsur menghilang. Tiga pasang mata kini terarah bergantian pada Renjun dan Mark, Renjun lagi lalu Mark, seperti mengikuti lemparan bola tenis. Untuk kedua kalinya ia nyaris tersedak. Alih-alih ia berdehem cukup keras.

Terakhir kali mereka bertemu?

“Ah, kau berlebihan Hyung,” ujar Renjun diikuti tawa canggung. Tangannya meraih segelas air putih lalu menemuinya habis. Matanya menatap tajam pada Mark yang sibuk mengunyah daging steak.

“Tapi background dan propertinya memang mengesankan kok, Injuni.”

Bless your soul Haechan.

Setelah itu acara makan malam kembali berjalan normal—sepertinya. Sampai Renjun menumpahkan saus pada celana kainnya dan hendak meraih tisu di seberang. Alih-alih tisu, nyala api lilin menyapa pergelangan tangan bagian dalamnya. Membuatnya memekik dan menarik tangannya cepat. Alas, gerakan impromptu itu membuat jarinya bergesekan dengan ujung candle holder. Metal yang dipoles terlalu tajam itu merobek permukaan kulitnya.

“Ouch—”

“Renjun—oh my.”

Tanpa disangka Mark dengan sigap mengamankan tangan Renjun agar tidak terluka lebih jauh. Dan tanpa disangka pria itu dengan santai memasukkan jari Renjun yang terluka ke dalam mulutnya dan membersihkan darah dengan lidahnya. Renjun seperti tersengat listrik merasakan benda basah dan lunak itu pada permukaan kulitnya.

Tiga manusia yang tersisa menatap bengong dengan mimik seolah Mark baru saja melakukan tindakan kriminal berat kelas dunia. Dan kali ini, Renjun benar-benar tersedak ludahnya sendiri.





A/N: pakabar kalian semua wkwkwkkwk 🌻🌻🐴🐴🐴

Author up lagi malem ini heuheueheueheu <-- *ini ketawa orang yang harusnya bikin pr malah bikin ff* 😂😂😂😂

Btw maaf ya kalau tiap A/N author banyak emoji. Bingung mo ngomong apa *berasa kek org penting aja lu*

Seperti biasa makasih buat kalian yang betah ngikutin ff ini hehehehe u da best 🙆‍♂️🙆‍♂️🎃🌻🌻🌻🐴😆

Hehehe intinya selamat membaca chapter ini~~ see you next chap!

Sekian terima (hujat) kasih 💫💫🐝


Race Of The Heart [COMP.]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora