Without ❤ 4

32.3K 1.9K 46
                                    


Saat ini keluargaku dan keluarga besar Livia sedang berkumpul di rumah Livia. Pernikahan Livia dan Lerian tinggal menghitung hari. Sekarang ini kami sedang rapat keluarga. Mengecek seluruh persiapan agar tidak ada yang tertinggal. Maklumlah, ini pernikahan dua keluarga pengusaha besar. Salah sedikit saja akan jadi cemoohan orang banyak. Jadi demi menutup semua cela, kami disini melakukan diskusi bersama.

"Babybee, kita honeymoon di mana?" Tiba-tiba saja adikku melontarkan pertanyaan tentang honeymoon dengan semangat.

"Haa?" tunangannya malah gelagapan.

Apakah hatiku sakit melihat kedekatan mereka? Sedikit! Tetapi aku mencoba merelakan, mana mungkin aku tidak ikut bahagia atas pernikahan adikku sendiri.

Suara-suara mengenai honeymoon mulai memenuhi ruangan ini.

"Nah bener tuh, kalian mau rencana honeymoon di mana?" Zaroca angkat bicara karena penasaran.

"Tempatnya harus bagus lho, biar proses bikin bayinya lancar."

Celetukan agak vulgar yang tiba-tiba itu membuat semuanya menoleh ke arah suara. Dan mata kami sama-sama melotot, tidak percaya jika yang mengucapkan hal vulgar barusan itu adalah Kanarya—adik Zaroca yang setahuku sangat pendiam. Sejak aku bersahabat dengan Zaroca, Kanarya adalah sosok yang suka menebarkan aura dingin dan irit bicara.

Kami langsung geleng-geleng kepala, sedangkan sosok yang jadi pusat perhatian itu hanya asyik nyengir. Sadar kalau diperhatikan berpasang-pasang mata, dia langsung berdehem dan kembali ke mode pangeran es-nya. Kami semua tak bisa menahan tawa melihat tingkah ajaibnya.

"Gimana kalo kalian ke Jerman aja? Disana kan banyak tempat-tempat menyenangkan. Nanti kalian bisa tinggal di tempatku dan Oca dulu. Gak perlu repot-repot booking hotel atau semacamnya," ucapku memberikan rekomendasi kepada Livia dan Lerian.

Aku baik, bukan? Memberikan rekomendasi tempat bulan madu meskipun hatiku seperti ditusuk-tusuk.

"Boleh juga tuh, gimana, Sayang?" tanya Ian kepada Livia.

"Kalo emang bagus sih kenapa harus ditolak. Aku setuju," jawabnya tersenyum manis.

Dia tersenyum manis kepada tunangannya. Bukan kepadaku. Tunangannya sendiri membalas dengan mengacak rambut gadis itu sebentar kemudian mereka berdua kembali sibuk dengan daftar kelengkapan pernikahan mereka kembali.

Rasanya masih sama. Nyeri. Darah di hatiku menggenang.


Hari ini adalah hari wisuda Lerian. Aku mewakili Mama dan Papa datang menghadiri undangan untuk keluarga wisudawan. Jangan tanya ke mana orang tuaku. Mereka lebih memilih bisnis mereka daripada menghadari wisuda anak mereka sendiri. Aku tahu Lerian sedih, tetapi dia menutupinya dengan baik.

Kami sudah terbiasa sejak kecil ditinggalkan. Tetapi ketiadaan orang tua di hari penting seperti hari ini, siapapun akan sedih. Untunglah ada Livia yang memberikannya semangat pada Lerian. Ya, aku menghadiri undangan bersama Livia. Tentu saja karena Livia adalah tunangan Lerian.

Tampaknya Livia sudah mau berdamai denganku. Buktinya dia tidak lagi menunjukkan aura permusuhan saat berada di dekatku. Mungkin karena dia tahu aku yang turut membantunya saat penculikan saat itu.

Prosesi wisuda berlangsung cukup lama. Seperti biasa dibuka oleh rektor universitas. Livia sudah wisuda lebih dulu dari Lerian. Aku sangat bangga melihat adikku berada di barisan wisudawan yang meraih gelar cumlaude. Pukul dua belas siang, prosesi wisuda berakhir dan ditutup dengan alunan merdu paduan suara mahasiswa almamater mereka..

"Selamat ya, Sayang, udah jadi sarjana sekarang," ucap Livia sambil mengecup pipi Lerian saat kami sudah berada di luar gedung wisuda.

"Makasih, baby," balas Lerian sambil membalas mengecup pipi Livia.

Aku berusaha menekan rasa cemburu yang mulai menguasai hatiku karena melihat kemesraan mereka berdua.

"Selamat ya Ian. Semoga sukses ke depannya" ucapku tulus.

"Makasih, Mas," balas Ian sambil memelukku. Aku pun balas memeluk adikku.

"Kita pulang?" tanya Ian kepadaku dan Livia.

"Eh, ntar dulu. Kita foto bareng buat kenang-kenangan," jawab Livia menyela.

Livia kemudian memanggil fotografer yang memang stand by di acara wisuda. Setelah melakukan beberapa sesi foto, aku langsung permisi kembali ke kantor.

Bekerja dan bekerja.


Aku sudah berada di ballroom megah nan mewah ini sejak jam enam pagi. Benar. Jam enam. Bukan cuma aku, tetapi seluruh keluarga besarku dan keluarga besar Livia. Ditambah entah berapa ribu tamu undangan. Sayangnya calon pengantin wanita dan ibunya sendiri malah belum tiba. Mungkin sedikit repot berdandan makanya mereka tak kunjung datang. Padahal seluruh kelurga sudah panik. Termasuk adikku yang kelihatan teramat gugup.

Ini adalah pernikahan antara Livia dan Lerian.

Setelah Lerian mengucap kalimat sakti itu, beberapa jam lagi maka Livia akan resmi jadi adik iparku.

Tamu-tamu terus berdatangan. Semua kursi hampir penuh. Sekarang sudah jam sembilan tepat. Berarti waktunya calon pengantin pria mengucap janjinya untuk bisa memiliki pengantin wanita.

Di tengah ruangan ini, Lerian menjabat tangan Om Aro dengan mantap. Om Aro sendiri yang akan menikahkan putri tunggalnya, menyerahkannya pada lelaki yang akan menjaga putrinya seumur hidup.

Dan itu bukan aku.

"Saya terima nikah dan kawinnya Livia Megantari Auriga binti Zanaro Auriga dengan mas kawin tersebut tunai."

Lerian mengucap kalimat sakral itu dalam sekali tarikan nafas. Kata sah dari para saksi menjadi bukti bahwa Livia dan Lerian sudah resmi sebagai suami istri.

Meninggalkan aku yang lagi-lagi patah hati. Hatiku terluka amat parah. Lebih-lebih ketika melihat mereka bersanding di pelaminan. Rona bahagia di wajah keduanya membuatku sakit. Luka di hatiku semakin melebar. Semua orang berbahagia Mungkin hanya aku satu-satunya orang di ruangan ini yang berduka.

"Aku pertama kalinya melihat ada orang berduka di pernikahan orang lain."

Aku mengernyit heran. Suaranya berasal dari sampingku. Mau tidak mau aku menoleh, memperhatikan sosok yang sedang menyesap cairan berwarna merah dari gelasnya dengan anggun.

"Kamu lagi patah hati, ya? Terima saja nasibmu, pengantin wanitanya sudah menjadi milik orang lain."

Senyumnya sinis sekaligus mengejek. Aku langsung menggeram marah. Berani-beraninya dia berkomentar akan hidupku!

"Selamat menangisi nasibmu, pria tampan."

Dia melengos pergi. Meninggalkan aku dengan rahang mengeras menahan emosi.

Siapa wanita kurang ajar itu?

❤❤❤



Ditulis Juli 2014

Direvisi Desember 2016

Without HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang