01: Four Years ago

1.1K 33 0
                                    

| UNEDITED |

Empat tahun sebelumnya. . .

"Jilly, ayolah. Gak usah murung kayak gitu. Lo gak menghancurkan operasi." Kook, saudara laki-laki Jilly terus memberitahunya untuk menenangkannya. Karena Jilly tidak ada istirahatnya menyalahkan dirinya dari setelah mereka menyelesaikan transaksi di Bronx.

Jilly tidak mendengarkan, tidak terlalu mempedulikan ucapan kakaknya itu. Dia tahu kalau dirinya adalah seorang adik, tapi dia bukan anak kecil lagi. Dia tidak perlu di kasihankan dan tentunya tidak perlu rasa kasihan dari kakaknya. Dia bisa mengjaga dirinya dengan baik, bahkan lebih baik dari orang lain sekalipun dari kakak dan keluarganya. Dia tahu kalau ada bahaya mengancam dan dia juga sangat pintar dalam bersembunyi.

"Gimana kalo kita minum aja. Gue yang traktir, seperti biasanya." Kook mengalungkan tangannya di pundak Jilly, menyamakan langkah mereka.

"Hmm." Jilly berdeham, menolehkan kepalanya dan menurunkan kaca matanya sebatas hidung. "Gue mau pulang dulu, terus kita ketemu di tempat biasa." Dia setuju. Siapa yang akan menolah minuman gratis? Hanya orang bodoh saja.

"Oke, gue tunggu. Gue juga masih ada urusan di resto. Ayah lagi nungguin gue." Kook tersenyum, membawa Jilly dekat dengannya. Dia menepuk dada Jilly pelan sebagai tanda jadi sambil kepala mereka ia dekatnya bersama.

Dari sana, Kook memperhatikan Jilly pergi berjalan seorang diri. Berbeda dengan Jilly yang berjalan untuk sampai ke apartemennya, Kook harus mengendarai mobilnya untuk sampai ke tempat tujuannya. Kalau saat ini dia tidak pergi kemana-mana, mungkin dia akan tinggal di apartemen Jilly dan mereka bisa pergi langsung dari sana.

Jilly memasuki apartemennya yang masih tersinari oleh cahaya matahari. Menutup pintu tanpa berputar untuk melihat kebelakang, Jilly membawa kakinya untuk pergi ke balkon apartemennya. Seluruh dindin luar apartemennya adalah dari kaca, walaupun dia tidak menutup tirai, dia bisa melihat kesibukan kota Chicago di malam hari.

Membawa kakinya keluar balkon, tangannya berpegangan pada ujung pembatas. Matanya melihat ke luar sana yang tanpa batas. Dia mencintai pekerjaannya, tapi terkadang dia dibawa berpikir kemana dia bisa saja mengurus restoran keluarga. Pekerjaan yang damai dan tanpa musuh. Pekerjaan yang mudah dan juga gampang. Tapi pada akhirnya dia tahu apa pilihannya. Menjadi Assassin, bukan hanya seorang pembunuh kelas bawah.

Setelah sesi renungannya yang menurutnya sangat menyedihkan dan dia tidak akan mengulanginya lagi, walaupun dalam hati dia tahu kalau dia akan melakukannya lagi. Jilly kembali masuk ke dalam apartemen dan juga menutup pintu balkon.

Dia akan mengganti bajunya dan juga membersihkan seluruh tubuhnya dari kejahatan-kejahatan yang telah ia perbuat. Memang tidak bisa ia menghilangkannya secara harfiah, tapi secara akal.

Setelah dia selesai, dia mengambil rok mini cargo berwarna hitam dan juga atasannya yang berwarna sama. Dia memastikan kalau pakaian yang ia kenakan tidak ada yang salah dan pantas untuk pergi ke bar saat malam. Tidak lupa juga ia dengan tas bermerk miliknya untuk melengkapi penampilannya. Sebagai Assassin yang banyak di cari oleh orang untuk pekerjaannya, dia bisa meminta bayaran apapun dari yang menyewanya.

Bisa dibilang, hampir semua barang yang ada di lemarinya adalah dari bayaran yang ia pungut atas kerja kerasnya. Apartemen yang ia tempati saat ini? Gedungny adalah milik Ayahnya, jadi dia tidak harus khawatir untuk membayarnya setiap bulan.

Saat Jilly sedang memakai sepatu, dia mengdengar ponselnya berbunyi dari dalam tas. Dia mendesah, menjatuhkan kakinya yang hanya sebelah ia pakaikan sepatu, lalu mengambil ponselnya dari dalam tas.

Kook memanggil. . .

"Gue lagi jalan, sabar dikit." Jilly langsung menggumal ke kakaknya satt dia menerima teleponnya.

Assassin In A Skirt (Selesai)Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt