Bakemono

65 7 5
                                    

"Hei Bakemono!"

Semua orang memanggilku begitu.

***

Usia 7 tahun

"Hei, ayo main" ajakku.

Dia melotot ke arahku lalu berkata "Ba.. Bakemono"  seraya berlari meninggalkanku sendirian.

Aku termenung menatap kepergiannya. Di pulau ini, semua orang menjauhiku, padahal aku hanya ingin bermain bersama mereka.

Ayah, Ibu, Kenapa kalian pergi begitu cepat :(

Air mata membanjiri wajahku, hiks.. hiks.. 

Tanpa sadar matahari telah tenggelam, Aku berjalan dengan gontai melewati hutan. Di ujung sana ada sebuah rumah kayu yang sudah jelek, itulah rumahku.

Dulu sewaktu kecil Ayah dan Ibu bekerja sebagai penjual kayu bakar dan beragam hasil hutan. Tawa selalu mewarnai keluarga kami meskipun orang-orang selalu merendahkan.

Malam itu, di hari ulang tahunku yang ke-6, Ibu membangunkanku seraya mengajakku berlari keluar melewati api.  Namun, sebatang kayu hampir menimpa kami berdua yang sedikit lagi dapat keluar dari rumah. Ibu lantas mendorongku keluar hingga dirinya tertiban kayu tersebut. Aku menangisi Ibu yang terjatuh hingga serpihan kayu menimpa wajahku. Panas, sangat panas aku tidak pernah melupakan panasnya hingga hari ini. Bahkan, panas itu meninggalkan bekas luka di sebelah pipiku.

Aku terbangun di ranjang rumah sakit, seseorang telah menolongku. Aku menjerit memanggil Ibu dan Ayahku, tetapi seorang perawat berkata mereka telah mati. Aku tidak percaya dengan omong kosong itu "Jangan bercanda! Mereka tidak mungkin mati semudah itu" ucapku kesal.

Si perawat dengan sabar mengajakku mengunjungi sebuah ruangan yang sering disebut "ruang mayat" Dia menunjukkan jasad Ibu dan Ayah yang sudah terbakar hingga hitam. Aku menangis tersedu-sedu.

Sejak itu Aku berkali-kali mencoba bunuh diri, tetapi aku tidak mampu melakukannya. Aku takut.

Bekas luka itu membuatku disebut "Bakemono"  oleh teman-temanku yang artinya monster. Bahkan, kulit tangan dan kakiku menjadi hitam karena kobaran api itu.

Aku meminum segelas air dan memakan sebuah roti gandum yang sering paman berikan saat aku tidak di rumah. Sehingga, saat pulang Aku tidak perlu khawatir akan kelaparan.

***

Usia 11 tahun

Aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan yang suram ini. Hasrat akan kematian membuatku mampu berkali-kali menggores tanganku dengan silet, tetapi berkali-kali seseorang menyelamatkanku.

Dia, seorang paman yang sudah menyelamatkanku dan membawaku ke rumah sakit saat kobaran api itu muncul, dia juga yang selalu memberikan air dan roti gandum padaku, dia pula yang selalu menyelamatkanku saat aku dalam kondisi kritis akibat aksi percobaan bunuh diri yang ku lakukan.

"Paman" begitu aku memanggilnya. Entah dia tinggal dimana, seperti apa keluarganya, apa pekerjaannya, aku tidak tahu. Yang ku tahu Ia adalah orang yang menjagaku.

***

Bakemono [Selesai] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang