45 : hai Sena

Mulai dari awal
                                    

"Beneran?" Tanya Sena lagi, Guanlin mengangguk.

"Terus, kapan aku dibawa ke orangtua kamu? Aku juga pengen ketemu calon mertua aku, hehe." Ujar Sena dengan cengirannya. Masih dengan memeluk Guanlin dari belakang.

Guanlin sedikit tertegun dengan ucapan Sena. Ada hal yang ia takutkan jika membawa Sena ke Jakarta.
Ya, tentu saja gadis itu. Bagaimana jika Nana menyaksikan dirinya membawa gadis lain ke rumahnya. Bagaimanapun jika Nana menyaksikan dirinya sedang duduk bersama gadis lain di pelaminan.
Akankah gadis itu menangis? Bahkan terluka?

Tapi... Persetan dengan semua itu. Bahkan, mungkin gadis itu sudah tak perduli lagi dengannya, pikir Guanlin.

Guanlin mengangguk, sedikit menolehkan kepalanya. "Besok aku bawa kamu ke Jakarta,"

"Serius?" Tanya Sena semangat. Dan Guanlin hanya menjawab dengan anggukan.

"Nanti malem kita langsung berangkat."
Ujar Guanlin datar, seraya melirik arlojinya.

"Berarti aku harus siap-siap sekarang ya, aku pulang dulu, mau beresin barang-barang." Ujar Sena, lalu mengecup puncak kepala Guanlin.

Guanlin terdiam membisu. Ia tidak suka jika ada orang lain berlaku seperti itu, jika bukan Nana.

Guanlin beralih menatap Sena, "Kamu hati-hati, jangan terlalu capek. Kasian yang ada didalam perut kamu."

Seketika pipi Sena memanas. Ia senang saat Guanlin sedikit-sedikit mulai perhatian padanya.
Tidak, Guanlin memang perhatian. Tapi perhatiannya kali ini, sungguh membuat
Sena bahagia, juga berdebar kencang.

"Iya, aku pasti nggak bakal ngelakuin yang capek-capek kok. Aku pulang dulu ya, bye." Ujarnya lalu pergi dari ruang kerja Guanlin yang ada dirumah neneknya.
Lalu Guanlin pun ikut bersiap.


























Perjalanan sekitar memakan waktu sampai setengah hari, kini Guanlin tengah membelokkan mobilnya menuju halaman rumahnya di Jakarta.
Kenangan lama muncul lagi saat dia melihat ke arah balkon kamar disebelah kamarnya.

Oh, ayo Lin. Sulit sekali sih, buat ngelupain dia..

Kemudian diliriknya Sena yang tertidur pulas di bangku penumpang disampingnya.

"Sen, bangun, udah nyampe." Guanlin menggoyangkan sedikit bahu Sena, sesekali mengusap surainya.

Sekosong apapun perasaannya pada Sena, ia tetap harus memberikan perhatian padanya, juga calon anaknya.

Sena sedikit melenguh, kemudian matanya perlahan terbuka.

Ia melirik Guanlin yang tengah menatapnya, sambil tersenyum.
Rasanya ada berjuta-juta kupu-kupu yang terbang di perutnya. Melihat Guanlin yang tengah tersenyum padanya, sungguh luar biasa bagi Sena— mengingat Guanlin yang jarang tersenyum seperti itu akhir-akhir ini.

Sena ikut tersenyum.

"Ayo turun." Ujar Guanlin seraya melepaskan sabuk pengamannya.
Sena melakukan hal yang sama.

Setelah mengambil koper yang ada di bagasi mobil, mereka berdua langsung masuk kedalam rumah.

"Bunda, Guanlin pulang." Teriak Guanlin pelan saat kakinya menginjakkan di lantai rumah, tempatnya tumbuh dewasa.

Ibunya yang menjelang usia 50 an, muncul dari dapur. Tersenyum hangat ke arah mereka berdua.

Ibunya langsung memeluk Guanlin cukup lama, sampai Guanlin berbicara.
"Bun, ini ada Sena."

Always Lin [Lai Guanlin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang