Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

[3]

19.6K 1.4K 39
                                    

Chapter Three

Mulutku komat-kamit menahan kesal karena pendaratan mesin ini tak semulus yang kami kira. Nah, informasi menarik: selesai pendaratan yang buruk ini Cindy langsung memuntahkan isi perutnya tak henti-henti.

Bayangkan saja. Tadi saat dalam perjalanan, mesin ini menggelinding ke sana-kemari bagaikan bola bowling yang dilemparkan kuat-kuat ke sepuluh pin. Yah, atau mungkin kenyataannya bisa lebih buruk lagi. Tapi kan, kami sedang menaiki mesin waktu, bukan pesawat terbang. Mungkin ini sesuatu hal yang wajar bagi mereka yang berpengalaman menggunakannya.

Kemudian dilanjutkan dengan masalah kedua, mesin ini mati total begitu juga dengan robot asisten tadi. Maka lampu-lampu yang sebelumnya menyala dengan terang-benderang pun akhirnya jadi ikut padam. Gelap. Dan tak berselang lama lagi, indera penciumanku yang tajam segera menangkap bau hasil pembakaran yang mengepul dari dalam mesin.

Ah, ini asap.

Aku langsung menutup hidung menggunakan sapu tangan elastis yang selalu tersedia dalam saku pakaian. Sedangkan Cindy masih memuntahkan isi perutnya sambil terbatuk-batuk sesekali ketika mengambil napas. Seandainya keadaan tidak serumit ini, mungkin aku sudah terbahak melihatnya.

"Kita ... kita harus keluar dari sini," ucap Cindy di sela-sela muntah dan batuk-batuknya. "Atau kalau tidak, kita bisa mati keracunan karbon monoksida."

Aku tahu itu. Memang siapa sih, yang mau berdiam diri di dalam mesin rusak; yang mengepulkan asap, yang gelap total dan yang miskin oksigen?

Lalu lama-kelamaan, paru-paruku mulai sulit untuk diajak bernapas. Asap sudah memenuhi dadaku sampai-sampai aku terbatuk sesak karenanya. Maka aku panik. Aku segera berjalan ke sekeliling dan mulai meraba-raba mesin untuk mencari pintu keluar.

Ah, iya. Mesin ini butuh sidik jari Cindy.

Ketika menemukan pintu tersebut, aku langsung mendorongnya sekuat tenaga. Siapa tahu bisa terbuka. Sebab mau bagaimanapun ini satu-satunya jalan keluar, tidak ada jalan darurat yang bisa digunakan. Lebih-lebih sidik jari Cindy juga tidak akan membantu. Kenapa? Mesin ini rusak. Mati total. Catat itu.

Menurut indera pendengaranku yang tajam pula, Cindy akhirnya berhenti muntah. Gadis itu segera menarik ransel besarnya lalu merogoh sesuatu dari dalam sana. Dan tak perlu menunggu lama, karena beberapa saat kemudian lampu terbang yang otomatis menyala dalam kegelapan itu tiba-tiba melesat ke luar dari dalam ransel Cindy. Mereka mengeluarkan cahaya.

Aku menghela napas lega. Setidaknya kita tidak panik dalam kondisi gelap.

"Cindy! Tolong cepat bantu aku!" seruku minta bantuan. Yah, sejak tadi aku mendorong pintu, memukul, bahkan menendangnya. Namun tidak mengubah fakta bahwa kami masih terjebak di dalam mesin menyebalkan ini.

"Vene, awas!"

Tanpa menoleh aku pun langsung menyingkir. Aku tahu sesuatu akan terjadi. Dan benar. Rupanya Cindy berlari kencang sembari berteriak. Kedua tangan gadis itu memeluk batu besar hendak dilemparkan pada pintu.

Cindy berhasil melempar batu besar tersebut dengan erangan kuat khas bapak-bapak. Lalu batunya ... astaga, batunya lepas dari genggaman Cindy dan terlempar tepat mengenai sasaran.

Dan pintu mesin ini terbuka!

Tidak terlalu lebar memang, tetapi setidaknya membuat sedikit celah. Celah untuk ke luar dari ini semua adalah satu-satunya harapan bagi kami.

Kami lihat, pintu mesin aluminium itu jadi penyok dan kelihatan buruk sekali. Kalau Fanita ada di sini, ia pasti akan menertawakannya.

"Ide brilian!" Aku memuji Cindy sambil tersenyum lima jari ke arahnya. Namun sedetik kemudian air mukaku berubah drastis.

Rewinds ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang