Cubitan

90 16 0
                                    

Bogor.
Desember, 2016.


Semenjak kejadian kemarin aku jadi merasa adanya kecanggungan tiap berada di dekat Erlangga, padahal Erlangganya pun biasa saja. Belakangan ini pun aku mulai menyadari kalau aku memiliki perasaan yang aneh. Tapi aku belum yakin jika aku memang sudah jatuh hati pada Erlangga.

Jangan sampai, sih. Semoga saja tidak.

Hari ini aku ulangan susulan dengan Wati karena beberapa minggu lalu kami dispen sehingga terpaksa untuk tidak mengikuti ulangan. Aku dan Wati di pindahkan untuk duduk di depan, mungkin biar gurunya lebih gampang mengawasi kita berdua. Tapi, mau segalak, seketat apa pun gurunya juga kelasku pasti nekat menyontek.

Begitu sudah di bacakan soal, bukannya langsung mengerjai, aku langsung menengok ke belakang. Buat apa coba nengok ke belakang?

Tatapanku berhenti di mejaku, Fisya tidak duduk sendirian, Erlangga pindah dari kursi Marwan ke kursiku. Apa-apaan itu, kenapa mereka jadi duduk berdua? Ish, pergi kek si Erlangga, cari kursi lain gitu jangan kursi aku.

Eh? Tadi aku marah? Cemb--

Oke, aku ngaco. Tadi aku ngomong apa? Ah, bukan apa-apa pasti. Oke, Kanza mari kita fokus ngerjain ulangan.

Aku bekerjasama dengan Wati untuk ulangan kali ini. Jika sudah menghitung pasti langsung mencocokkan jawaban kita berdua. Namanya juga murid, maklumi saja. Wati adalah murid yang pintar menurutku setelah Fildzah, tidak beda jauh deh otaknya. Sedangkan aku jauh sekali dengan mereka. Standar.

Setengah jam kami baru selesai mengerjakan soalnya, di lanjut mengerjakan tugas yang di berikan guru tersebut yang haru langsung di kumpulkan hari ini. Kurang gila apa sih tuh guru. Saat aku kembali ke meja, masih ada Erlangga disana. Mendadak aku menjadi kaku dan merasakan gejolak aneh.

Fisya sepertinya menyadari keberadaanku, dia pun menengok ke orang yang duduk di sebelahnya. "Eh pergi sana, ada si Kancut."

Erlangga bahkan tidak menengok sama sekali padaku, dia berdiri dari tempatnya lalu bergabung dengan anak laki-laki yang lain. Aku menatap punggungnya lalu duduk di tempatku.

"Liat tugas lo, Pi."

🍃

"PMR gadungan."

Masih aja gitu ya nih anak ngebahas PMR. "Nggak denger."

"PMR remaja." Tanpa aku lihat juga iu pasti Putra. Hanya dia yang bilang kalimat itu di kelasku.

"Eh, jawab ya. Aspesia?"

Erlangga sialan.

"Humanity!"

"PMR, kaki gue sakit nih, obatin dong. Woi, PMR!"

Aku berbalik badan lalu memicingkan mata dan menunjuk Erlangga tepat di depan wajahnya. "Sekali lagi lo ngomong, ig lo gue bajak," ancamku yang ternyata membuat Erlangga langsung diam. Wajahnya sangat lucu, aku hampir saja tertawa jika saja tidak aku tahan.

"Jangan atuh, Cut. Maap deuh maap, diem deh gue."

Aku tersenyum padanya, sangat puas jika ancamanku mempengaruhinya. Kemudian aku berbalik badan dan tertawa, mudah sekali menyuruhnya untuk tutup mulut.

"Lo megang akun Angga?" Tanya Fisya padaku, aku menjawabnya dengan mengangguk dengan ragu, untung saja Fisya tidak menanyakan hal lain. Aku melirik ke arah pintu kelas, gerombolan Erlangga sudah pergi, saatnya aku menonton variety show tanpa merasa ke ganggu.

🍃

Sembari menunggu Fisya piket, aku duduk di meja guru dan memperhatikannya yang sedang menyapu. Sebenarnya rumahku sama sekali tidak searah dengan rumah Fisya, hanya saja aku tidak mau ke gerbang sendirian, seperti tidak punya teman.

"ANGGA PIKET LO!"

Waw. Suara Fisya kencang sekali, seram juga sih dia berteriak ke Erlangga sembari membawa sapu di tangannya.

"HEEH PMR GADUNGAN."

Apa hubungannya piket sama PMR sih? Aku rasa di belakang sana ada keributan, mendengar suara Fisya  yang cempreng itu melengking bikin siapapun langsung menutup telinga. Aku terus memperhatikan mereka sampai tiba-tiba Fisya meneriakkan namaku dan berlari ke belakang punggungku.

"KANCUT TOLONGIN GUE."

Kebiasaan. Tanganku di cengkeram kuat sama Fisya, segitu takutnya kah dia sama seorang Erlangga? Di depanku sudah ada Erlangga sembari mengangkat lengan jaketnya hingga siku. Aku menelan salivaku, jangan mikir kalau dia keren, nggak bukan aku yang bilang kok. Oke, aku nggak boleh gugup, dia cuman Angga si anak bernard.

"Kancut tolongin gue, itu... itu Angga nyubitin gue, sakit banget."

Oh My God...

Cuman di cubit doang dia sampai ketakutan gini, ampun dih, Sya. Mataku memperhatikan gerak-gerik Erlangga, cowok itu seperti bersiap memutari meja guru, sebelum itu terjadi, Fisya sudah dulu lari keluar kelas dengan teriakannya. Tiba-tiba Erlangga menengok ke arahku membuatku menjadi diam seketika.

"A--apa?"

"Si Kancut belom." Erlangga menghampiriku. Refleks aku berdiri lalu mencubitnya. Dia langsung meringis, padahal aku mencubitnya dengan pelan. Memang sih, aku di kenal dengan cubitannya yang ganas.

"Oh, lo nantangin?"

"Apa lo?" Aku mengangkat daguku berniat menantangnya, padahal aku juga ketakutan, takut dia memukulku.

Erlangga yang sudah tidak bisa kemana-mana karena di belakangnya ada papan tulis pun hanya bisa bersikap santai.

"Nggak sakit," ucapku saat lenganku tiba-tiba di cubit Erlangga. Sumpah ini nggak sakit. Aku pun membalas cubitan Erlangga, dan dia seperti menahan sakitnya. Lama-lama cubitan Erlangga jadi lebih keras membuatku mau tak mau teriak.

"AAAAA, ANGGA SAKIT IH."

"Mampus." Erlangga tertawa sembari mencubitku, aku pun mendongak ikut tertawa. Namun tawaku mereda mengingat jarak yang... aku bahkan terlalu malu sudah sedekat apa jarakku dengan Erlangga. Aku kembali menunduk dengan tertawa canggung, melihat tumit sepatu kita bahkan sudah saling bersentuhan. Ini sih... DEKET BANGET!

"Udah ih, Ngga."

"Lo dulu lepasin."

Aku mundur beberapa langkah kemudian melepaskan cubitanku di lanjut Erlangga yang melepas cubitannya juga. Erlangga melihat kulitnya yang berwarna kebiruan, atau keunguan? Nggak tahu deh, pokoknya dia langsung meringis.

"Gila, cubitan lo sampe buat kulit gue begini," ucapnya sembari melangkah keluar kelas.

Aku masih di belakangnya, memperhatikan dia berjalan. Dia menaikkan tudung jaketnya, lalu memasukkan kedua tangannya di kantung jaket.

Aku mengambil nafas dan menghembuslannya secara perlahan. Bahkan sampai Erlangga tidak terlihat pun, jantung ini tidak mau berdetak dengan normal.

"Kancut, ayo pulang!"

Aku mendogak dan berjalan mendekati Fisya. Mengingat kejadian tadi, di tambah di ingatkan lagi dengan kejadian kemarin membuat wajahku semakin terasa panas. Aku menutup wajahku, aku malu.

Tidak mungkin aku mulai suka dengan orang yang aku benci.

🍃

One Year Full Of MemoriesWhere stories live. Discover now