Aku menggaruk kepalaku karena aku kebingungan sendiri. Aku tidak tahu buku apa yang di ambil Erlangga.

"ANGGA BUKU GUE MANA?"

Erlangga terlihat terkejut, lalu dia menyengir. Kebiasaan, nyengir mulu. "Apaan? Buku yang mana, Cut?"

"EH LO NGAMBIL BUKU SI KANCUT YA," celetuk Fisya.

"Udah lah biarin aja," ucapku, toh pasti dia akan mengembalikkannya lagi.

Tapi kepanikanku langsung meningkat ketika sudah berganti jam pelajaran, Angga tak kunjung mengembalikan bukuku. "ANGGA IH SUMPAH YA BUKU GUE MANA."

"Itu, itu di kolong Marwan."

"Hih."

Marwan mengecek kolong mejanya dan ternyata memang benar ada buku tulisku di kolong mejanya. Marwan memberikannya padaku. Aku mengecek apakah ada yang di coret atau tidak, ternyata tidak a--

"ANGGA IH."

"Apa lagi?"

"Lo kan yang nyoret?"

"Hah? Bukan. Sumpah." Mana ada orang percaya sama dia sih, ngomongnya sumpah tapi dianya malah ketawa kencang banget, seakan emang benar dia yang ngelakuin. Tadinya aku mau marah, tapi setelah melihat coretan itu lagi kemarahan itu padam digantikan tawa.

Dia mencoret tulisan 'panu ular' dengan huruf kapital dan huruf kecil yang berantakan. Itu dari nama belakangku, Panular.

Dasar, Erlangga. Ada-ada saja.

🍃

Hanya sebatas itu, sisanya aku tidak bercanda lagi. Anehnya, aku menanti dirinya agar meledekku. Sumpah, aku juga nggak tahu ada apa sama diriku sendiri.

Hari ini kami sedang ada pelajaran tambahan membahas Fisika, dan gurunya itu... ya gitu, nggak jelas, gitu deh. Suka banget ribut sama anak-anak sekelas, apalagi si Udin. Lagi ngebahas UNBK, tuh anak malah nyeletuk, "Bu, komputernya ngelag."

Sumpah itu bego banget. Nyari masalah banget. Padahal sama sekali tidak ada komputer atau laptop di kelas.

Aku memandang ke luar kelas melalu jendela, hujan lagi, ya namanya juga Kota Hujan. Kata guruku kalau hujan itu bagusnya berdoa biasanya suka ada mukjizat doanya di kabulkan  sama Allah. Aku menutup mataku dan berdoa dalam hati, semoga saja doaku benar terkabul.

"Cut, keluar yuk, ngadem." Aku menerima ajakan Dilla untuk ke luar kelas. Ternyata di luar kelas sudah ada Dino dan Erlangga yang sedang memakan gorengan. Kita berdua duduk di sebelah Dino, sedangkan Erlangga berdiri.

"Heh Angga, lo kan dulu anak PMR."

HAH?

"Angga? PMR?" Tanyaku pada Dilla, ini bukan lawakan kan?

"Sebelum lo masuk, gue tuh anak PMR," jawab Erlangga.

"Anak tandu kan lu? Kenapa keluar?" tanya Dilla. Aku mendengar dengan seksama. Kalau dia dulunya PMR, terus kenapa sekarang dia sering banget ngeledek PMR?

"Males sama alumninya, nggak mau pelantikan lagi gua."

Akhirnya kami bertukar cerita dan menceritakan kembali PMR yang sekarang. Aku hampir terkejut ketika Dilla mengajak Erlangga untuk bergabung lagi ke PMR, tetapi Erlangga langsung menolak mentah-mentah. Kemudian Dilla mengobrol dengan Dino, dan aku di kacangin.

"Cut, pinjem HP."

Aku memberikan handphoneku pada Erlangga. Dia mengambilnya dan duduk di ubin, sibuk sendiri. Huh, aku jadi bosan banget.

Untungnya Erlangga mengembalikan handphoneku dengan cepat. "Nih, nggak ada sinyal, gembel."

"Yeh, udah minjem juga." Aku menatapnya. "Lo kenapa ngehina PMR mulu sih?"

"Kaga ngapa. Pengen aja."

Aku mendecih, jawabannya ngaco. "Kenapa nggak masuk aja--"

"Udah lu latihan aja yang bener."

Erlangga berhenti di depanku, dan aku semakin gugup ketika aku melihat tangannya terangkat.

"Kancut... Kancut..."

Aku membeku.

Jantungku... benar-benar berdegup cepat.

Setelah perlakuannya itu, dia masuk ke dalam. Bahkan aku di tinggal sendirian sama Dilla. Maksudnya apa? Kenapa pipiku jadi terasa panas, ugh kenapa?

Coba, ingat lagi.

Kita berantem, lalu bercanda, terus aku capek, terus...

DIA NGUSAP KEPALA AKU?

ASTAGA ERLANGGA.

Kenapa kamu tiba-tiba... ugh.

Senyumnya saat mengusap kepalaku masih teringat jelas di benakku, mungkin tidak akan pernah hilang. Aku memberanikan diri ke dalam kelas, masih dengan wajah yang tidak percaya. Aku menatap Erlangga, lelaki itu melihatku lalu kembali mengobrol dengan temannya.

Dia sadar nggak sih abis berbuat apa?

Aku tahu ini terlalu lebay. Tapi, masalahnya aku tidak pernah di perlakukan seperti itu sama anak laki-laki, kecuali Papaku sendiri.

Duh, aku jadi malu bersitatap sama Erlangga.

Lagipula, mengapa doaku terkabul dengan begitu cepat? Aku... aku belom siap, ini sih lebih dari bercanda, aku kan berdoa supaya bisa bercanda, bukan bisa di usap kepalanya sama dia.

Mamaaaaa, aku nggak kena penyakit jantung kan? Kenapa jantung aku debarannya kencang banget?

🍃

Author note :

Coretannya seperti iniii 👇. But, itu bukan tulisan dia. Karena yang aslinya bukunya itu udah kebuang sama Mama aku dan sempat aku foto, tapi bulan lalu itu data aku kehapus semua. Tapi aku masih inget, gila ya masih inget aja wkwkwk.

 Tapi aku masih inget, gila ya masih inget aja wkwkwk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
One Year Full Of MemoriesWhere stories live. Discover now