Apa kabarmu? Masihkah membenciku?

Tanpa sadar aku pun masuk alam bawah sadarku.

❤❤❤

Rumahku tampak sangat ramai. Malam ini orang tuaku memang khusus mengadakan pesta penyambutan atas kepulanganku sekaligus perkenalanku sebagai penerus kerajaan bisnis keluarga Anggara.

Aku belum melihat adikku. Tadi siang dia sempat pulang sebentar untuk menemuiku. Tetapi sorenya dia langsung pergi lagi. Menjemput tunangan katanya. Aku sendiri masih belum tahu siapa tunangan adikku. Tetapi aku yakin seorang gadis dari keluarga yang baik dan berpengaruh. Kenapa aku bisa berpikir begitu? Karena aku mengenal kedua orang tuaku dengan baik. Tidak mungkin menantu mereka berasal dari kalangan biasa saja.

Zaroca dan Andien sudah datang. Aku menghampiri mereka berdua yang malam ini kelihatan sangat serasi. Bukan sebagai sahabat tentunya, tetapi sebagai pasangan.

"Ternyata rame juga ya pestanya." Andien memulai pembicaraan.

"Iya, makasih kalian berdua udah mau dateng."

Setelahnya kami bertiga asyik berbincang soal bisnis yang sedang kami bangun. Kami bertiga memang sudah punya perusahaan sendiri di Jerman, tetapi karena kewajiban masing-masing, kami bertiga diminta pulang ke Indonesia. Terpaksa kami harus memindahkan perusahaan kami ke sini juga.

Tidak seperti Zaroca dan Andien yang bebas memilih bekerja dimana saja meskipun keluarga mereka punya bisnis sendiri, aku harus merangkap dengan mengelola perusahaan keluargaku juga.

"Selamat malam semuanya, terima kasih atas kedatangan kalian semua. Malam ini saya akan memperkenalkan anak pertama saya yang nantinya akan menjadi pengganti saya di perusahaan. Nah semuanya, inilah putra kebanggaan saya, Delvian Gaza Anggara."

Papa memintaku ke tengah ruangan untuk diperkenalkan pada tamu undangan. Suara tepuk tangan menyemarakkan ruangan.

Adikku juga sudah datang bersama seorang gadis. Tetapi sosok gadis itu tidak bisa kulihat dengan jelas, tersembunyi di belakang Lerian.

Ketika sadar siapa gadis yang bersama adikku, tubuhku menengang. Gadis itu juga sama. Kami sama-sama terkejut. Kemudian hanya suara panik orang-orang yang mengatakan ada gadis pingsan yang tertangkap oleh pendengaranku.

Gadis itu.... Ya Tuhan....

Dia pingsan. Karena aku.

❤❤❤

Pesta sempat kacau sejenak. Tetapi dengan segera kembali tenang berkat kedua orang tuaku.

Gadis yang pingsan itu dibawa ke kamar Lerian. Dia sendiri yang mengangkat tubuh gadisnya.

Ya, gadis itu milik adikku. Aku kalah sekali lagi. Dan tidak akan pernah menang.

Setelah melihat Livia, gadis yang tadi pingsan, aku menyendiri di ruang kerja samping kamarku. Zaroca tampak masih berbicara dengan Lerian ketika kutinggalkan. Tak lama kemudian Zaroca menyusulku. Kami hanya berdiam-diaman.

Lerian masuk ke ruang kerjaku satu jam kemudian. Livia sudah dibawanya pulang. Entah apa yang membuatnya kembali lagi.

"Lerian, gimana Livia?" Zaroca tampak khawatir saat menanyakan keadaan gadis itu. Gadis itu adalah sepupu Zaroca. Dia langsung berlari mengejar Lerian saat tahu Livia pingsan tadi.

"Dia nggak apa-apa Mas, tadi udah tidur."

"Syukurlah." Zaroca menarik napas lebih dalam menandakan dia lega mendengar kondisi Livia.

"Sorry Mas Oca, bisa aku bicara berdua saja dengan Mas Vian?"

Aku menatap bingung pada Lerian. Apa yang mau dibicarakannya denganku? Masalah Livia?

"Of course, aku pulang dulu ya."

"Hati-hati, Mas."

Setelah Zaroca pergi, aku memusatkan perhatian pada adikku. Lerian menatapku dengan sorot mata membunuh. Aku tahu bahwa dia berusaha menahan gejolak emosi yang kelihatannya sudah berada di ubun-ubun.

Tiba-tiba aku tersadar. Lerian pasti sudah tahu. Ya. Pasti itulah yang membuatnya menatap begis padaku sekarang. Dia sudah mengetahui apa yang kulakukan pada Livia di masa lalu.

Tidak perlu bertanya bagaimana Lerian tahu. Aku yakin setelah Livia pingsan tadi karena melihatku, Lerian pasti bertanya pada Zaroca.

"Kamu tahu Ian, bukan cuma kamu yang sakit lihat keadaan Livia tadi."

"Maksud Mas apa?"

"Aku mencintai Livia sejak pertama kali melihatnya saat MOS SMA. Love at the first sight. Aku pikir karena dia sepupu Oca dan Oca adalah sahabatku, maka aku akan mudah mendapatkannya. Tapi aku salah. Dia tidak melirikku sedikitpun. Dia bahkan terlihat antipati padaku." Aku mengeluarkan unek-unekku, Lerian hanya mendengarkan tanpa menyela sedikitpun.

"Aku berada di sekitarnya tapi dia seperti menganggapku nggak ada. Padahal gadis-gadis lain dengan senang hati mendatangiku dan memintaku jadi pacar mereka. Tapi Livia beda, dia tidak takluk sama sekali sama pesonaku. Kamu nggak tahu gimana frustrasinya aku saat nggak bisa memilikinya. Sampai akhirnya aku berniat memakai cara nggak terpuji kayak gitu. Untungnya aku sadar kalau aku salah. Tapi Livia malah makin nggak suka sama aku. Bahkan lebih parahnya, dia benar-benar menghindariku kayak aku ini penyakit mematikan. Aku tahu aku salah, bahkan Oca sampai mukulin aku hingga babak belur. Oca memang maafin aku, tapi Livia nggak." Aku mengakhiri ceritaku. Napasku naik turun karena emosi, tapi kucoba menahan diri. Bagaimanapun juga, aku tidak mau terlihat menyedihkan di depan adikku sendiri.

"Kalau aku jadi Livia, aku juga tidak mungkin memaafkanmu, Mas," ucapnya sarkatis.

"Kamu tahu Ian, aku selama ini setia menunggu Livia sadar kalau aku mencintainya. Bahkan sampai aku pergi ke Jerman dia tidak mau menemuiku. Aku selalu memantau keadaannya lewat Oca. Aku pikir setelah bertahun-tahun berlalu, dia sudah memaafkanku. Tetapi aku salah, bahkan Liva pingsan abis lihat aku. Aku cinta sama Livia, Ian. Sangat mencintainya."

"Tapi sekarang Livia tunanganku mas, CALON ISTRIKU." Lerian memberi penekanan pada kata terakhir yang diucapkannya.

"Aku tidak perduli jika Mas Vian masih mencintai Livia. She is mine! Tidak ada yang boleh memilikinya selain aku." Lerian terdengar sangat posesif.

Aku memutuskan tidak membalas ucapannya. Kemudian yang terdengar hanyalah suara pintu ruang kerjaku yang dibanting dengan sangat keras.

Aku melempar semua barang yang ada di meja kerjaku. Suara barang pecah saling beradu di udara. Aku tidak peduli lagi dengan pesta yang masih berlangsung di lantai satu. Aku berteriak keras. Melampiaskan semua emosi yang kutahan. Airmata jatuh ke pipiku.

Dadaku sesak.

Sakit.

Teramat sakit.

Kenapa gadis yang kucintai harus menjadi tunangan adikku?

❤❤❤

Ditulis Juli 2014

Direvisi 9 Desember 2016

Without HeartWhere stories live. Discover now