PART 24. GRATEFUL

1.2K 86 1
                                    

Heyooo diriku next lagi muehehe.

Selamat berpuasa semwaaaah.

HAPPY READING.

***

Semua orang bisa mendukungnya, memberinya semangat, ataupun senyuman indah padanya. Tapi, sejujurnya, Winda tidak membutuhkan itu semua. Winda tidak membutuhkan topeng itu semua.

Winda butuh apa? Apa yang Winda inginkan? Bicaralah, keluarkan semua yang kamu mau. Di depannya sudah ada sosok yang rela menjadi tempat sampah bagimu. Menjadi tempat pembuangan segala amarah mu, kebencianmu.

Bagaimana satu obat bisa menghancurkan hidupnya. Ah, bahkan sebelum kehadiran obat itu hidupnya sudah terlalu hancur.

Bahkan, semua orang kini membencinya. Menganggap dirinya adalah tokoh utama dari segalanya. Meskipun segala pemeriksaan yang ia ikuti pun ia terbukti tidak ikut campur dalam obat yang dikonsumsi oleh maminya sendiri.

Satu lagi, sosialisasi. Setelah pemeriksaan, dirinya dipaksa ikut sosialisasi tentang bahaya Narkoba. Percuma saja tidak berdampak apapun padanya.

Selain lingkungan sekolahnya, beberapa omongan kebencian itu sering kali terdengar. Mereka memang tidak mengenal tentang Winda, tapi Winda mendengar suara itu dimana-mana.

"Nanti baksonya nangis lho cuma dimainin terus." Ucap Tama membuyarkan lamunannya.

Suara rusuh dari luar kedai bakso terdengar mengalihkan pandangan Winda dan Tama. Dari segi seragam bukan dari sekolahnya, tapi pembicaraan mereka seakan-akan mereka satu sekolah dengannya. Biasa, menggossip tentang cogan di sekolahnya. Dan nama Tama disebut-sebut.

"Tuhkan Win, gue di gibahin. Biasa cogan gitcu."

Winda tersenyum masam mendengarnya, sambil menyuapkan sedikit bakso ke mulutnya.

"Btw nih ya pacarnya Tama itu anak dari yang narkoba itu loh. Padahal ibunya bukan artis atau apa tapi gak tau kenapa gara-gara ketauan dia konsumsi narkoba beritanya dimana-mana." Ucap salah satu diantara mereka.

Satu lagi diantara mereka mungkin jauh punya info terbaru hingga ia menambahkan, "Gak mungkin kalau cuma narkoba bisa diberitain segitunya, pasti ada apa-apanya. Gue yakin selain konsumsi ibunya juga ngedarin, dan uangnya itu buat biayain anaknya sekolah si pacarnya Tama itu."

Lagi-lagi ia mendengar kalimat hujatan, tapi sepertinya kali ini jauh lebih menyakiti hatinya. Dengan cepat Winda mengambil tasnya dan keluar dari kedai bakso meninggalkan Tama.

Tanpa rasa bersalah Tama menumpahkan kuah baksonya serta es jeruknya pada kumpulan ciwi-ciwi yang sedang asyik gossip. Oh ini namanya penyiksaan. Tapi tenang, semuanya pun memuji Tama setelah Tama melakukan perbuatan menyebalkannya itu.

"Winda, naik sekarang." Ajaknya menahan pergelangan Winda, namun Winda berontak mencoba melepas tangan Tama darinya sampai akhirnya ia lelah sendiri dan Tama langsung memakaikannya helm.

"Nah sekarang naik." Winda terdiam, tangannya justru menggenggam tangan Tama erat dengan mata yang memerah seakan menahan sesuatu disana.

Winda masih terus terdiam namun Tama membiarkannya sebentar seakan-akan mengerti akan perasaan Winda. Tama melirik jam tangannya sebentar, sudah jam setengah 4 sore. Berarti sebelum datang ke kedai bakso mereka berdua cukup lama berputar keliling kota dan tentunya tanpa SIM hehe.

"Naik Win, kalau disini terus nanti lo bakal denger omongan itu lagi. Horror kan."

Winda membuang nafasnya dan naik keatas motor Tama. Setelah ini pun Tama tidak mengajaknya pulang terlebih dahulu, ia akan mengajak Winda ke tempat kesukannya untuk meluapkan segala emosinya. Membiarkan tangan Winda terus menggenggam tangannya, memang susah karena membuat Tama hanya menggunakan tangan satu untuk mengendarai motornya.

(FAT)E - [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang