Tunggu.

Guanlin?

Kakak kelas?

Apakah yang dikatakan para adik kelas di belakangnya itu benar-benar nyata? Berbagai macam tanda tanya mulai bermunculan.

Guanlin pindah ke sekolahnya?

Sungguh sulit dipercaya. Sejeong tak habis pikir bagaimana kelanjutan hari-hari berikutnya setelah adanya Guanlin di sekolahnya.

Apa Guanlin tahu, kalau ia satu sekolah dengannya?

Ooh-salah.

Apa Guanlin masih ingat dengannya? Bagaimana reaksinya nanti jika bertemu nanti setelah sekian lama lost contact?

Apa maksud ia pindah ke sini? Apakah ada tujuan lain di luar alasan belajar?

Apa benar ia akan menemuinya? Menunaikan janjinya dulu untuk kembali datang padanya?

Sejeong belum siap dengan itu semua.

••••

Seusai mengantar Sejeong pulang dengan selamat, Daniel langsung menuju ke kafe miliknya. Selain memang harus menjaganya, Ong juga sedang berada di sana.

Memang sudah jadi langganan Ong berada di sana setiap hari, sepulang sekolah. Kafe Daniel sudah seperti rumahnya keduanya sendiri. Salah satu alasan ia melakukannya adalah; ia sudah muak mendengar keributan dari kedua orang tuanya. Tangisan mamanya adalah yang paling ia benci. Dan itu sudah terjadi sejak setahun lalu. Sejak papanya menemui wanita lain. Ah sudahlah, tidak baik untuk dibahas lebih detil.

Daniel kerap merasa prihatin dengan sahabatnya itu. Ia sering melamun sendiri di sudut kafe. Telinga disumpal headset memutar lagu mellow, menatap banyak orang berlalu lalang di trotoar. Dan terkadang hujan datang turut mengiringi kemurungan Ong. Meski di sekolah kelihatannya dia anak slengean, dibalik itu ia anak rapuh.

Ong juga sering menginap di rumah Daniel jika tahu papanya berada di rumah. Ia sudah tak suka melihat papanya lagi. Dan untungnya Daniel tidak pernah keberatan.

Ong sedang berada di sudut depan saat Daniel masuk ke kafe. Cowok itu masih menggunakan seragamnya yang dibalut dengan sweater hoodie hitam. Tasnya tersimpan di atas meja, bersampingan dengan segelas lattenya yang sudah tandas. Ia menyandarkan punggungnya dan terlihat terkantuk-kantuk.

Setelah meletakkan helmnya di rak yang disiapkan khusus untuk menyimpan helm, Daniel langsung menghampiri Ong.

"Woi, Ong, tidur di dalem aja. Jan di sini, bikin sepet pemandangan pelanggan gue ntar." Daniel menepuk ubun-ubun Ong. Seketika cowok itu terperanjat dan mengernyit bingung. Matanya menyipit khas orang yang berusaha membuka mata setelah bangun tidur.

"Tidur di dalem aja sana," ulang Daniel. Selagi Daniel berjalan menuju kasir, Ong meregangkan ototnya.

Daniel mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kafe. Semua kursi penuh. Hampir semua kalangan ada di dalam kafe bernuansa hangat ini. Mulai dari anak kecil yang terus merengek pada orang tuanya untuk memakan macaron, sekumpulan anak SD yang hanya membeli satu es teh dan lebih banyak menggunakan wi-fi, gadis remaja yang saling melempar tawa meledek kawannya yang hatinya sedang berbunga-bunga, para mahasiswa yang sibuk dengan laptopnya, sampai beberapa pasang orang tua yang mencuri waktu untuk berkencan selagi anaknya masih sibuk sekokah.

Baguslah, meski pendapatannya tidak seberapa, paling tidak kafenya selalu ramai pengunjung. Lagi pula kafe peninggalan kakeknya ini tidak seluas kafe lain di luar sana. Dan untungnya Daniel tidak punya banyak karyawan. Hanya dua orang saja. Satu orang bertugas membuat dan menyiapkan pesanan dan yang lain mendapat tugas mengantar pesanan dan membersihkan kafe. Itu pun mereka berdua anak orang berada yang sedang mencari kesibukan dan dengan ikhlas dibayar berapapun oleh Daniel.

One and Only Where stories live. Discover now