Bagian 11

9.4K 1.9K 1K
                                    

TERKADANG orang-orang menyimpan suatu barang, bukan karena barangnya yang berharga. Melainkan sejarah, pemilik, atau pemberi barang itu yang berharga. Usai kebakaran melahap hampir setengah rumah Eyang, barang-barang yang tersisa dan layak pakai masih kukoleksi semua. Buku-buku lawas, piringan hitam, radio tua dengan kaset pita, hingga sepeda onthel  batavus yang tersimpan rapi dibungkus plastik di garasi.

Batavus merek sepeda yang sangat terkenal jaman dulu, bahkan hingga kini. Sepeda bikinan Belanda ini masuk Indonesia sekitar 1920-an, meski tak lebih lawas dari Gazelle yang merupakan buatan Willem Kolling dan Rudolf Arentzen pada tahun 1902. Sepeda ini jadi yang terlaris di Indonesia di masa kolonial Belanda.

Eyang membelinya karena dulu hanya konglomerat Belanda yang memilikinya. Dengan menyimpan barang-barang Eyang, aku merasa tak kehilangan sosoknya di rumah. Meski berulang kali dibuat menangis ketika realita membuatku tersadar, raganya sudah sangat lama menyatu dengan tanah.

Alam bawah sadar meraupku dalam pelukan. Kalau tak memiliki bekal amunisi semangat, aku memilih menarik diri ke dalam selimut hangat saat matahari belum ingin menampakkan diri, akan tetapi aku berencana memperbaiki sepeda onthel tua itu. Semuanya masih bekerja dengan sempurna kecuali remnya. Ayahnya Qais pemilik bengkel sepeda di persimpangan jalan dekat sekolah, aku perlu berangkat lebih pagi untuk mengantarkan sepeda itu.

Ada hal lain yang kusyukuri selain uang jajan kami yang tidak kena potongan pasca ibu memutuskan berhenti dari pekerjaannya, yaitu sarapan pagi di meja makan. Semenjak ibu mengabdikan dirinya di rumah, aku jadi sering merasa bersalah karena berangkat sekolah lebih pagi dan meninggalkan sarapan. Padahal aku tidak melakukannya secara sengaja.

Bukan soal keberadaan ibu, melainkan sarapan. Satu kata itu yang sangat ganjil berada dalam kamus pikiranku. Duduk di meja makan sebelum berangkat sekolah tak pernah menjadi kebiasaanku, dan kebiasaan tak bisa dibiasakan dalam sehari.

"Kamu mau berangkat jam segini? Kenapa nggak pake seragam?" Ibu menampakkan wujudnya saat aku sibuk mengencangkan tali sepatu.

"Aku mau berangkat ke sekolah pake sepeda onthel Eyang, seragamnya aku bawa kok, Bu."

"Sepagi ini? Nggak akan sarapan dulu? Bawa sepeda kok perut kosong, mana bawa ransel seberat itu." Saat itu memang baru pukul lima lebih lima belas menit. Semenjak jatuh cinta dengan archery, aku tak pernah merasa ransel ini terasa berat.

"Udah biasa ini, Bu."

"Nggak akan bawa uang jajan juga?"

"Kecuali Ibu mau aku sekarat dalam pelukan kelaparan sih nggak apa-apa." Ibu tertawa mendengar diksiku yang kadang kala agak memaksa.

"Kamu ini... mirip Eyang banget. Apa-apa jadi puitis." Dia berlalu pergi sebentar untuk mengambil sesuatu dari laci.

"Nih, uang jajan kamu buat satu bulan." Dia memberikanku beberapa lembar uang yang warnanya mencerahkan mata.

"Satu bulan?" Aku agak keheranan menerimanya. Namun ibu menanggapi pertanyaanku dengan anggukan.

"Mama rasa kalian udah cukup dewasa untuk mengatur keuangan sendiri, jadi mulai hari ini uang jajan akan Mama berikan perbulan." Aku menghitung lagi anggaran harianku dalam sebulan, rasanya nominalnya kurang dari ini. Uangnya terlalu banyak.

"Kamu nggak mau naik uang jajan?" tanya Ibu melihatku berhitung. Tentu saja aku tidak akan menolak. Namun aku merasa tidak memiliki keperluan lain yang membutuhkan uang jajan lebih. Aku mengembalikan lagi selembar uang itu pada ibu.

"Berikan pada Zayyan aja, Bu. Dia habis jatuh miskin kemarin," lalu aku berlalu pergi menuju garasi.

Selain sepeda onthel batavus yang berada di pojok kanan ruangan. Ada jeep wrangler TJ yang juga terparkir di sana. Mobil yang digunakan papa pulang-pergi bekerja. Mobil itu mobil pertama yang papa beli. Sayang, kami tidak sedekat itu untuk membicarakan banyak hal.

Aku, Al-Qur'an, & Alzheimer Where stories live. Discover now