Bagian 1

69.3K 5.9K 1.1K
                                    

BERBAGAI kafilah datang dengan rombongannya masing-masing. Hanya saja kafilah-kafilah itu tidak datang dengan mengendarai unta, karena tempat ini memang bukan padang pasir. Melainkan sebuah tempat yang katanya berjalan menujunya, sama dengan mempermudah jalan menuju surga.

Dari yang paling baru, hingga motor jadul warisan orang tua, silih bergantian memasuki sebuah tempat yang asal mulanya dicetuskan oleh Raden Mas Soewardi Soerjaningrat, lebih sering kita kenal dengan julukan Bapak Pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara.

Ya, sekolah. Tempat yang harusnya menjadi tujuan mempercepat langkah menuju surga. Namun sepertinya niat mereka tertinggal di rumah. Tidak semua manusia berseragam datang ke tempat ini untuk mencari ilmu.

Ada yang datang menjadi Firaun, memamerkan segala benda mahal padahal milik orang tuanya. Ada yang datang untuk menyamai istrinya Abu Lahab, dari awal menginjakkan langkah pertama di gerbang masuk, mulutnya berbuih membicarakan keburukan guru atau siswa lain hingga pulang. Ada juga yang datang dengan niat bersaing dengan Sarah, mempercantik diri sana-sini padahal jelas kalah telak.

Namun tidak sedikit juga yang memiliki keseriusan belajar laksana Abdullah bin Abbas, Muadz bin Jabal, Jabir bin Abdullah, atau sefenomenal Abu Hurairah, meski harus mengendarai kakinya untuk sampai ke tempat ini.

Sekolah, spektrum warna pelangi kiranya tidak akan lengkap jika tidak ada murid-murid seperti itu, dan alangkah baiknya memang ada. Supaya guru bimbingan konseling tidak hanya duduk di ruangannya memakan gaji buta setiap hari tanpa memberikan kontribusi.

"Zaheen... Zaheen..." Bilal berteriak, suaranya sudah seperti Raja Abrahah menyuarakan perang

Aku tetap berjalan lurus, meski aku bukan siswa yang masuk kategori lurus-lurus saja selama bersekolah. Niatku juga kutinggalkan di laci kamar, atau bahkan sudah menguap bersama udara. Bilal panik setengah sakaratul maut karena datang terlambat. Sementara aku masih memegang teguh prinsip yang juga dicetuskan Ki Hajar Dewantara kalau dihukum karena terlambat nanti.

Ing ngarso sung tulodo, pendidik harus memberikan teladan di depan. Jadi kalau harus menghadap matahari terbit sampai jam delapan nanti. Aku akan menarik guru-guru teladanku yang juga datang terlambat untuk ikut berbaris di hadapan pembina upacara. Lagipula tidak masalah mendapat asupan vitamin D berlebih seminggu sekali.

Setiap senin pagi selalu ada teriakan yang lebih melengking dari anggota paduan suara, yaitu suara teriakannya Pak Ahmad. Identik dengan guru galak yang tensi darahnya mendadak naik setiap senin pagi.

"Hey, ale!¹ Ya, kau! Ado ... Bapak panggil kau berdua itu, Zaheen, Bilal," Pak Ahmad memanggil kami dengan gaya bicaranya yang ala timur. Kami dengan bodohnya malah menoleh ke belakang. Guru berdarah Ambon itu bernama lengkap Ahmad Abarua. Menurut sejarah versi Pak Ahmad, Abarua itu memiliki arti 'pengertian'. Saking pengertiannya beliau memperhatikan kedatangan kami setiap pagi.

"Saya Zayyan, Pak."

"Sudahlah, tak perlu bohong-bohong begitu! Bapak tahu kau Zaheen! Seragam Zayyan badgenya lengkap. Baju kau melongpong macam seragam baru dari Pasar Baru. Lagipula kembar rupa, tak mesti kembar akhlak."

Menohok memang, rontok sudah harapanku untuk terbebas dari jeratan guru olahraga yang merangkap sebagai guru kesiswaan ini. Tak dapat dipungkiri, untuk membedakan aku dan saudara kembarku Zayyan selain dari rupa, lesung pipi, dan kelengkapan badge di seragam, kami bisa dibedakan dari akhlak.

"Kau lagi saleh! Ampong, anana ucing ke iskola pakai sepatu futsal ya?²" Lengan Bilal menyikutku, mengatakan kata 'ucing' dengan mengangkat kedua alisnya. Aku juga tidak paham dengan bahasa daerahnya Pak Ahmad, Melayu-Ambon. Tidak ada yang mengajariku bahasa daerah sejak kecil.

Aku, Al-Qur'an, & Alzheimer Where stories live. Discover now