"Nanti saja. Masih ada kerjaan lain yang harus saya selesaikan. Kamu boleh keluar sekarang."

"Mbak...." Bocah itu sama sekali tidak bergerak dari kursinya.

"Hmm...?" Aku terus mengamati monitor. Aku tidak bodoh. Seperti kata Dini, aku tahu Digda punya perhatian lebih kepadaku. Dia memang tidak pernah mengatakan tertarik atau suka, tetapi sikapnya untuk sekadar seorang staf cukup berlebihan. Dia juga tidak tolol, dan bisa membaca sikapku. Dia pasti sudah memperhitungkan akan aku damprat habis-habisan kalau berani bicara macam-macam soal perasaan. Hubungan kami saat pertama dia masuk cukup cair, tetapi aku mulai menjaga jarak dan memberi batas profesional saat gelagat bocah ini mulai aneh.

Aku sudah cukup makan asam-garam urusan asmara. Segala macam emosi yang melibatkan cinta sudah kualami. Senang, bahagia, sedih, kecewa, merana, sebut saja semuanya. Tertawa dan menangis karena cinta, I've been there, done that. Aku sudah veteran untuk urusan itu. Jadi aku tahu persis kalau Digda memang menaruh perhatian lebih kepadaku.

"Ini kan, hari Jumat...."

"Iya tahu," aku langsung memotong kalimatnya. "Kalau kemarin kamis, sekarang pasti jumat. Saya sudah belajar itu waktu play group, nggak usah diingatkan lagi sekarang."

"Maksud saya bukan gitu, Mbak." Digda meletakkan sesuatu di mejaku, tepat di depanku. "Hari ini grand opening restoran kakak saya. Mulai tadi siang sih, tapi saya pengin ngajak Mbak Kenzie ke sana selesai kantor saja, biar nggak buru-buru dan nggak terlalu ramai lagi."

Kepercayaan diri bocah ini lumayan besar. Siang saja belum tentu aku mau pergi, apalagi malam. Bersama dia pula! Di tempat yang keluarganya mungkin saja berkumpul. Ho...ho... ho, maaf saja. Aku akan memilih restoran lain untuk berburu laki-laki yang sudah menitipkan tulang rusuknya kepadaku, tetapi lupa jalan untuk menemukanku kembali.

Aku meraih undangan itu dan tersenyum. Digda sontak ikut tersenyum. "Saya pengin banget ikut kamu sih, sayangnya saya sudah punya rencana lain," tolakku halus. Bagaimanapun, dia keponakan bos.

"Acaranya penting banget ya, Mbak?"

Aku tidak punya rencana apa-apa selain tidur. "Gitu deh. Menyangkut hidup mati."

"Memangnya acara Mbak Kenzie itu jam berapa?"

"Maksud kamu?" Aku tidak menduga Digda akan menanyakannya.

"Kalau acaranya pas pulang kantor, kita ke restoran kakak saya setelah dari acara Mbak Kenzie aja. Atau kalau acaranya lebih malam, kita ke restoran dulu baru...."

Tunggu dulu. "Kita?" Mungkin saja aku salah mendengar, kan?

"Saya nggak keberatan kok menemani Mbak Kenzie. Apalagi kalau soal hidup mati Mbak Kenzie, saya jelas harus ikut. Saya bisa diandalkan untuk membantu mempertahankan nyawa."

Enak saja, aku yang keberatan pergi sama dia! "Saya beneran nggak bisa ikut kamu, Digda." Kali ini nadaku lebih tegas. "Maaf banget, ya. Tapi makasih kamu sudah ngajakin." Tumben bocah terdengar lebih agresif. Biasanya dia langsung ngeloyor pergi saat kutolak ketika dia mengajak makan bersama.

"Tapi saya sudah janji sama Mama mau ngajak teman dan ngenalin, Mbak," Digda terus mendesak.

Seketika punggungku tegak. "Ya sudah, kamu ajak saja teman-teman kamu yang lain," sambutku cepat, pura-pura bodoh. Kenalan sama keluarga bocah ini? Memangnya aku kurang pekerjaan? "Mereka pasti senang diajak makan gratis jumat malam gini."

"Tapi saya kan maunya mengajak Mbak Kenzie."

"Maaf, tapi saya nggak bisa." Senyumku yang sudah raib dari tadi berganti tampang masam. Bocah ini minta dilempar. "Kamu keluar deh. Saya masih punya kerjaan yang harus diselesaikan."

"Mbak...."

"Keluar!" Aku menunjuk pintu. Seharusnya dia mencari gadis seumurnya untuk diajak bermain. Aku tidak akan menanggapi PDKT Anak Mama yang sedang bosan. Aku sekarang dalam posisi mencari calon suami, bukan sekadar pacar untuk senang-senang. Menghabisnya waktu berpelukan dengan bocah seperti Digda sambil menunggu kerut pertamaku di bawah mata bukan rencana pintar.

Aku menghabiskan waktu memeriksa berkas-berkas di ruanganku setelah Digda keluar, mencoba tidak memikirkan perasaan bocah itu yang mungkin terluka karena sudah kubentak. Salahnya sendiri. Itu tidak perlu terjadi kalau dia tidak bertingkah aneh.

Aku mengalihkan perhatian dari tumpukan berkas itu saat ponselku berdering. Pak Badhra. "Ya, Pak?" tanyaku sigap. Sebenarnya aku tidak suka menerima telepon dari bos di hari Jumat, menjelang jam kantor berakhir, karena biasanya itu berisi perintah yang bisa saja merusak akhir pekanku.

"Kamu ada acara sepulang kantor, Kenzie?"

Jangan bilang ada meeting mendadak. Seandainya saja aku bisa berbohong. "Tidak, Pak. Ada apa, ya?"

"Bagus kalau gitu. Nanti kita sama-sama ke restoran keponakan saya, ya. Grand opening hari ini. Ajak Helen dan Dini sekalian kalau kamu nggak mau pergi sendiri." Telepon ditutup begitu saja.

Aku menatap ponselku syok. Bocah kurang ajar, dia benar-benar minta dibunuh! Ini pasti pekerjaannya.

**

Mau tahu, kira-kira butuh berapa lama buat nyampe 1K bintangnya, ya? Hehehehe... 

Oh ya, Jejak Masa Lalu akan tetap update, hanya saja waktunya nggak menentu, tergantung mood untuk ngerjain, supaya berat badanku nggak makin turun selama ramadan. Butuh energi ekstra untuk nulis yang sellow mellow. Jangan lupa follow instagram @titisanaria  ya, untuk info tulisan dan novel yang coming soon.

My Brondong Mistake - TERBITWhere stories live. Discover now