Santri Zaman Now

821 16 12
                                    

"Kalau menurutku itu kode kalau dia menyukaimu Yas!"

Ilyas terdiam. Ia tak menyangka Supri akan menyimpulkan begitu.

"Nah, sekarang tinggal kamunya. Kalau memang ada suka pada Lia, biar aku omongkan padanya." Kata Supri lagi setengah membujuk.

"Aku bimbang Sup." Lirih Ilyas.

"Kenapa bimbang Yas. Lia itu gadis yang cantik. Dia juga baik jika kamu tau."

Ilyas nampak berpikir. Ia teringat kemarin hari ketika Lia tersenyum kepadanya. Itu juga yang mendorong dirinya untuk menemui Supri sepupu Lia.

Bukan kali pertama ia bertemu dengan gadis yg tiga tahun lebih muda darinya itu. Pikirannya melompat ke masa lalu ketika ia dan beberapa santri lain dipilih untuk mewakili pesantren dalam ajang olimpiade. Dan Lia termasuk salah satunya.

Kala itu Ilyas tak begitu mengaguminya. Lia hanyalah seorang gadis lugu yang kerudungnya miring. Namun semuanya sudah berubah. Ia menjelma menjadi seorang gadis berpenampilan modis. Dan ketika ia teringat wajah sendunya yang kemarin hari tersenyum itu, jiwanya kembali bergetar. Gadis itu kini nampak sempurna di matanya.

Tapi sekali lagi ia dilema. Begitu berat baginya meski sekedar menghadirkan seorang perempuan dalam hatinya. Itu sama saja ia menerjang pasal 6 yang selama ini dijauhinya.

"Pokok'e sing jenenge kang santri ojo sampe kenal wadon Yas." Kalimat itu tiba-tiba muncul. Pesan Yasir sahabatnya rupanya masih tertanam baik di benaknya. Ia masih tak cukup berani mendekati Lia. Rasa cintanya besar. Namun masih tak cukup besar dibanding dengan rasa takutnya pada pelanggaran.

"Gimana Yas." Supri kembali membujuk.

"Tidak usah lah Sup. Biarkan saja. Masalah itu kamu lupakan saja ya." Ucap Ilyas. Sengaja ia tak mau terang-terangan tentang perasaannya. Ia khawatir Supri malah menjadi 'Mak Comblang' antara Lia dengan dirinya. Dan ketika hidup itu harus memilih, maka ia lebih memilih untuk membiarkan saja rasa itu mengalir dengan sendirinya.

Menit berganti jam. Tersusun lagi menjadi hari. Sudah satu minggu berlalu. Dan tak terlewati satu haripun kecuali Lia selalu hadir di pikirannya. Bayangan indah senyumnya masih terekam jelas di kepalanya. Menimbulkan emosi hatinya yang paling dalam. Namun disaat yang sama ia selalu berusaha untuk menepisnya.

"Kalau memang jodoh, pasti tak akan kemana." Bisik Ilyas dalam hati. Hanya itu yang bisa menenangkannya setiap kali rasa gamang menyusup merayu hati.

"Buruan makannya Sir. Udah mau telat nih." Ucap Ilyas setengah teriak pada Yasir. Ia sudah selesai dulu dan berdiri di pintu warung.

"Duluan saja Yas. Kalau aku sih mending ditinggal daripada nanti keselek tempe terus mati gentayangan." Guyon Yasir. Ilyas tersenyum. Sahabatnya itu selalu saja bisa membuat segar pikirannya. Ia membalikkan badan sembari memandangi setiap orang yang lalu lalang.

Ada seorang santriwati khodimah yang ia perhatikan dari kejauhan. Semakin ia mendekat semakin timbul rasa penasaran. Sepertinya ia mengenal gadis itu.

Benar saja. Itu adalah Lia. Seseorang yang selama ini tidak pernah absen di pikirannya. Ia yakin betul kalau itu Lia. Meski saat itu wajahnya sedikit menunduk.

Hatinya kini mulai berdebar. Bercampur aduk perasaan dalam hatinya. Hingga akhirnya gadis berjilbab merah itu pun menatap ke arahnya.

Sejenak mereka saling pandang. Lia nampak melambatkan langkahnya. Lagi-lagi dengan senyuman yang mengembang di bibir tipisnya. Ilyas makin tak karuan. Ia salah tingkah. Lisannya kini membisu. Lidahnya juga terasa kelu. Namun mata mereka saling berbicara, dengan bahasa cinta.

Santri Zaman NowWhere stories live. Discover now