Aku tidak bisa lengah, Lucia tidak di bolehkan berjalan dan karena itu aku harus bersiap jika dia membutuhkan sesuatu misalnya seperti ke toilet, ingin minum atau lainnya. Sungguh walaupun aku sangat sedih melihatnya seperti ini tapi di hati kecilku yang paling dalam aku sedikit senang karena bisa seharian bersama dengan Lucia. Rasa cintaku semakin bertambah setiap saat.

Ponselku berdering dan segera mengangkatnya saat melihat nama Andrew tertera di layar ponselku.

"Kau masih di rumah sakit?" Tanya Andrew dari seberang sana.

"Tentu, katakan ada apa kau menghubungiku malam-malam begini?"

"Tidak bisakah kau berbasa-basi sedikit pada temanmu?! Besok kau harus datang ke Kantor, pemilik perusahaan property dari Brazil itu menolak jika bukan kau yang langsung menandatangani kontrak dengannya di tambah kau juga harus memimpin rapat untuk peluncuran produk baru".

Aku mengacak asal rambutku. Melihat sekilas Lucia yang tertidur pulas tanpa sadar aku tersenyum sendiri.
"Batalkan saja kontrak dengannya, aku hanya ingin bersama Lucia saat ini tolong jangan ganggu".

"Tidak bisa, kau tau jika kerjasama itu gagal akan berdampak besar pada seluruh perusahaan. Kemungkinan kita akan rugi jutaan dolar bahkan ratusan dan lebih lagi jika kerjasama dengan pihak lain juga terancam".

  "Baiklah aku akan ke kantor besok". Ucapku singkat dan langsung mengakhiri sambungan telpon.

~~~

"Apa kau merasa ada yang sakit?" Tanyaku pada Lucia. Pagi ini aku membawa pulang Lucia dan berpikir merawatnya di rumahku.

"Tidak". Hanya itu jawaban singkat yang keluar dari mulutnya. Aku tidak bertanya lebih lagi.

Matanya menatap kosong ke luar jendela kamarnya yang juga menjadi kamarku. Wajah cantik yang pucat itu terlihat seperti memikirkan sesuatu yang aku tidak tau.

"Ada apa, Apa kau memikirkan ayahmu? Aku bisa meminta Edgar menjemputnya agar kau bisa menemuinya". Tawar ku padanya dan hanya di balas gelengan kepala pertanda jawaban 'tidak'

"Baiklah sebentar lagi aku harus bersiap dan pergi ke kantor, aku akan tugaskan Hana untuk menemanimu. Kudengar dia dekat denganmu".  Kucium pucuk kepalanya dan beranjak pergi.

Lucia side~~

Willis sudah pergi ke kantornya, aku melihat rasa bersalah di matanya. Aku tau dia sangat menyalahkan dirinya atas kecelakaan yang ku alami. Tapi percayalah aku tidak pernah sekalipun menyalahkan dia, ini murni kesalahanku.

Aku tidak tau, aku malas berbicara dengannya. Aku masih belum menyukai pria itu. Tapi kucoba menyakinkan diri jika ini takdir, takdirku adalah bersama Willis dan aku harus mencintainya mau tidak mau. Walaupun dia pemaksa dan posesif, aku tau karena dia mencintaiku. Tapi aku sungguh sulit menerima jika harus dengan Willis aku hidup. Impianku adalah bersama pria biasa dan hidup sederhana di pedesaan bukan dengan pria seperti Willis yang memiliki kekuasaan dan wewenang tinggi.

"Nyonya Lucia, adakah yang anda butuhkan?"

"Jangan panggil aku seperti itu, Hana". Hana menunduk takut padaku. Seperti inikah ketakutannya padaku, karena aku atau Willis?

"Ma-maaf".

"Hana katakan padaku". Aku menggenggam kedua tangannya. "Kau lebih tau tentangku dari pada semua orang di rumah ini. Apakah yang aku lakukan ini benar? Apakah jika aku mencintai Willis itu adalah perbuatan yang benar?"

  "Nyonya Lucia, saya tau anda merasa bimbang. Saya sudah lama bekerja di rumah ini, saya tau jika tuan sangat mencintai nyonya. Cobalah untuk menerima cinta itu, karena dia yang mencintai bisa sangat membenci. Perlahan-lahan cobalah menerima".  Hana mengusap air mataku yang entah kapan mengalir.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jun 09, 2019 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

My Plot Twist.Where stories live. Discover now