Rayan hanya tersenyum malu.
Sebenarnya ucapan terima kasih aku hanya ingin di dengar cuman sekali aja. Tanpa harus berulang kali. Lagian kan sama-sama manusia dan sesama muslim tolong menolong itu kan di anjurin dan wajib. Jadi lebih baik berterima kasih aja sama Allah. Yang udah mempertemukan kita.
"Habis ini lu salat taubat nasuha ya. Minta ampun sama Allah gara-gara jambret." Kataku mengingatkan, tapi kata jambret yang aku katakan hanya dengan bahasa bibir. Aku takut kalau beberapa orang ada yang mendengarnya. Bisa berabe kalau ada yang tahu.
Aku memang tahu soal agama, abah sering mengajarkan aku. Tapi ya gini aku, bisa nasehati orang soal agama. Sedangkan aku sendiri masih aja kayak gini, nggak bisa menasehati diri sendiri.
"Asheeqa." Terdengar seseorang memanggilku dari belakang.
Aku menghentikan langkahku.
"Mbak Mehru kok berhenti?"tanya Rayan bingung.
"Lu ke apotek duluan ya. Gue ada perlu."
Rayan menganggukkan kepala, dan kembali berjalan.
"Asheeqa ..."
Suara ini nggak asing. Iya aku tahu ini suara siapa. Suara yang sama sekali nggak pengin aku dengar. Panggilan yang sama sekali nggak pengin aku dengar dari mulutnya.
Aku masih terpaku, sama sekali nggak ada niatan untuk menjawab panggilannya ataupun menoleh.
"Asheeqa," terdengar kembali panggilan itu semakin mendekat.
Aku menggertakkan gigi. Sesak, di dada ku rasakan. Emosi benar-benar memuncak di dadaku. Tanganku bergetar, dan mengepal dengan kuatnya, hingga buku-buku jariku memutih.
"Kamu Asheeqa kan?" Tanyanya kembali sambil memegang bahuku.
Dengan gerakan slow motion aku menggerakkan kepalaku untuk menoleh dan memastikan siapa yang memanggilku.
Di dalam hati aku terus berdoa semoga bukan dia. Iya bukan dia. Dia yang sama sekali tidak ingin aku lihat. Dia yang sama sekali tidak ingin aku dengar suaranya. Dia yang sama sekali tidak aku inginkan menyentuhku. Dia yang menjadi luka terbesar dalam hidupku. Dia yang membuatku merasakan sakit yang teramat menyakitkan. Dia yang nggak pernah menganggapku ada...
Satu
Dua
Tiga
Pria paruh baya, dengan potongan rambut rapi, berkemeja warna navy menatapku penuh. Ada binar bahagia di sorot matanya ketika tahu dia nggak salah panggil orang.
Tapi semua itu berbeda seratus delapan puluh drajat denganku. Aku menatapnya tajam, mataku memerah karena emosi. Nggak ada rasa bahagia bertemu dengannya. Walaupun hampir delapan tahun aku tak bertemu dengannya. Ini pertemuanku dengannya untuk ke lima kalinya selama aku hidup. Tanggapanku tetap sama, marah, kecewa, sedih dan yang lebih menyakitkan aku jijik melihatnya.
Kenapa sekarang? Kenapa dia tiba-tiba ada disini? Apa nggak ada rumah sakit lain di kota ini, apa! Aku benci! Iya aku bener-bener benci sama dia! Kenapa harus hari ini Ya Allah ...
Aku belum siap ...
"Asheeqa, syukur nak akhirnya a..." katanya dengan mata berbinar.
"Jangan panggil aku Asheeqa! Kamu nggak berhak buat memanggilku Asheeqa!" Potongku cepat, dengan penuh penekanan kata perkata.
Aku bener-bener nggak suka. Pening kepalaku ketika mendengar dia memanggilku.
"Asheeqa, maafin a..."
"Udah aku bilang. Kamu nggak berhak memanggilku Asheeqa!" Jawabku kembali mengacungkan telunjuk di hadapannya, marah. Tampak wajahnya berubah sedih.
"Maafin a ..."
"Stop! Nggak usah banyak ngomong. Sana urus keluargamu. Jangan ganggu hidupku, aku sudah bahagia hidup tanpamu!" Ucapku lagi dengan emosi yang tak tertahankan. Dadaku juga naik turun menahan emosi. Bodo amat soal sopan santun terhadap orang tua. Aku benar-benar meninggalkan ajaran yang abah ajarin padaku.
Aku lebih sakit jika aku tetap ada disini. Rasa sakit ini benar-benar sudah memuncak, emosiku pun tak terbendung lagi. Dari pada aku bikin keributan lebih baik aku pergi.
Kulangkahkan kaki pergi menjauh darinya. Sekuat tenaga aku menahan airmata jangan sampai dia melihatku menangis.
Samar-samar aku mendengarnya memanggilku. Aku malah menutup kedua telingaku, dan berlari semakin menjauh darinya.
Beberapa kali aku menabrak orang. Tanpa permintaan maaf aku tetap saja berlari. Beberapa orang tampak marah melihatku.
"Kalau jalan pakai mata!"
"Ini rumah sakit mbak!"
"Mbak! Woy!"
Aku tak menghiraukan orang-orang yang memperingatkanku. Aku hanya ingin lari menjauh darinya, dan menumpahkan semua emosi di dadaku. Mataku terasa panas, dan tak lama cairan bening sialan ini keluar dari pelupuk mataku. Kasar, buru-buru aku menghapusnya dengan tetap berlari. Hingga akhirnya aku menabrak bahu seseorang, dan kehilangan keseimbangan ...
YOU ARE READING
Asheeqa (SUDAH TERBIT)
SpiritualPesan via shopee aepublishing Aku tidak pernah tahu, Aku pun tak ingin mengetahuinya. Yang aku tahu, aku mengenal sosoknya pada diri orang lain. Tanpa pernah aku merasakan kehadirannya di sampingku. Dan ini,,,, membuatku sulit berdamai dengan kehi...
Asheeqa 5
Start from the beginning
