Ep. 20

3.3K 561 14
                                    

"Ya, begitu Nona Cheon, perlahan saja. Oke..., ya! Sepertinya, sudah tidak apa-apa. Tidak merasakan nyeri atau sakit pada kakimu 'kan?" tanya dokter Lay lengkap dengan senyuman manis yang berhiaskan lesung pipi di kanan dan kiri wajahnya. Benar-benar suatu pahatan Tuhan yang luar biasa.

Hwa Ri sebisa mungkin mengendalikan dirinya untuk tidak berteriak layaknya fangirl dan mengangguk kecil. "Ya, aku merasa baik-baik saja, dok. Sudah tidak sakit, kok."

"Baiklah, kau tidak perlu menggunakan kruk itu lagi, kalau begitu. Kau sudah bekerja keras hari ini. Pulanglah, dan rayakan kesembuhanmu." Setelah mengucapkan kalimat panjang lengkap dengan senyuman itu, dokter Lay pergi meninggalkannya dan paman bersama suster yang mendampinginya.

Ya, hari ini bukan ahjussi yang mendampinginya, melainkan paman Jae Su. Orang yang entah sejak kapan telah mendapatkan maafnya.

Lega rasanya, tepat sebulan sebelum drama musikalnya, kakinya sudah benar-benar sembuh dan ia bisa segera menghafal gerakan dan tariannya sampai hari penampilan. Untung saja, ia cukup cekatan jika menghafal gerakan, sehingga ia tidak perlu merasa takut tidak siap.

"Apa kau mau makan siang lebih dulu?" suara paman Jae Su membuatnya menoleh seraya menunjukkan senyum lebar.

"Mau!"

***

Moon Taeil tidak pernah suka bau obat dan antiseptik, ia tidak menyukai warna putih yang lekat dengan rumah sakit, serta darah yang seringkali menjadi warna kontras pada rumah sakit. Secara singkat, Moon taeil benci rumah sakit dan seluruh tetek bengeknya.

Sayang sekali, rumah sakit malah seperti rumah keduanya. Setiap hari, ia pergi ke rumah sakit untuk mengunjungi satu wanita di kamar nomor 17. Wanita yang tidak pernah sadar dari koma panjangnya dan Taeil yang memaksakan wanita itu untuk tetap bernapas.

Egois? Biarlah, tiap orang selalu punya ego bukan?

"Ibu, aku datang." Didorongnya pintu bangsal perlahan, lantas mengendap masuk tanpa menunggu jawaban sang pemilik ruangan.

Moon Taeil berdiam diri sejenak setelah menutup pintu bangsal, mengamati sosok ibunya yang penuh dengan selang dan kabel demi menunjang kehidupannya. Sudah sepuluh tahun berlalu seperti ini, dan bukannya kesembuhan dan kesadaran ibunya yang ia dapat, melainkan rasa sakit yang kian menghujam ibunya, juga harapannya yang kian pupus untuk mempertahankan kehidupan sang ibu.

Perlahan, ia berderap pelan mendekati sang ibu. Duduk pada kursi yang ada di sebelah kasur sang ibu. Digenggamnya tangan keriput sang ibu erat, menelusupkan jemarinya di antara jemari sang ibu. Taeil merasa hangat dan begitu hidup ketika tangan itu digenggamnya.

Taeil menghela napas, sebelum akhirnya berkata,"Ibu, pangeran sudah menemukan belahan jiwanya. Dan sang pangeran, siap berkorban untuk sang belahan jiwa demi menghapus rasa bersalahnya tiga tahun silam. Ibu akan mendukungnya 'kan?"

Tidak ada jawaban, hanya isakannya yang menggugulah yang memenuhi ruangan.

***

Hwa Ri melahap roti lapisnya dengan lahap, sesekali seraya menyedot cairan cola dalam papercup-nya. Jae Su yang melihatnya hanya tersenyum geli diam-diam. Sudah lama rasanya ia tidak melihat sosok Hwa Ri yang seperti ini.

"Hari ini ada latihan drama musikal?"

Hwa Ri mendongak, mengangguk bersemangat untuk mengiakan ucapan pamannya. "Iya, hari ini jam dua siang sampai jam tujuh. Paman mau antar aku?"

Jae Su menaikkan alisnya, mengangguk kecil akhirnya. "Boleh, paman punya waktu luang cukup banyak hari ini."

Hwa Ri tertawa kecil, kembali melahap roti lapisnya hingga habis.

別 の 世 界Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang