Penyihir di Hutan

117 28 12
                                    

"Hah! Hah! Hiyah!" Ruby mengayunkan kapaknya. Angin berhembus terbelah oleh lancipnya ujung kapak bernoda darah itu.

"Haaahhh!!!" Sebuah ayunan terakhir terlepas. Peluh keringat mengucur di pagi hari.

Sudah seminggu Ruby tinggal di gubuk Hans. "Kekuatanku sepertinya sudah pulih..." Ucap Ruby sambil mengeratkan pegangannya ke kapak.

Nina asyik bermain air sungai. Ekornya menggoyang, mengibas mengeringkan diri.  "Kakak sudah selesai?" Tanyanya riang.

Ruby mengistirahatkan kapaknya ke punggung. Kemudian berjalan menyusul Nina ke pinggir sungai.
"Ahahaha!" Nina mengambil air sungai dengan kepalan tangannya dan menyiram Ruby pelan.

"Aaaa!!!!" Ruby pun menutupi wajahnya. "Hahaha! Awas kamu ya!!!" Ruby membalas menyiram Nina.

Setelah kelelahan bermain air, mereka berdua pun duduk berdampingan di tepi sungai.
Memandangi ikan-ikan yang sesekali melompat ke permukaan.

"Kakak sudah ingat sesuatu?" Nina memecah hening.
Ruby menggeleng. "Belum... Sama sekali belum."

"Terus kenapa Kakak sibuk berlatih dengan kapak itu?" Nina yang penasaran menyentuh-nyentuh kapak yang ada di punggung Ruby.
"Kakak juga tidak tahu. Hanya saja di dalam diri Kakak ada hasrat untuk menjadi kuat... Entahlah..." Ucap Ruby menggaruk hidungnya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana denganmu Nina? Sudah berapa lama kamu hidup dengan Hans?" Ruby menaikkan tangan, mengelus-elus bulu-bulu di kepala Nina.

"Sudah empat kali musim dingin!" Jawab Nina semangat. Ruby tersenyum melihat tingkah anak rakun itu.
"Kamu tidak ingin kembali ke Karakun?"

Tiba-tiba Nina merenung dan ekornya melemas. Senyuman penuhnya terasa hambar, tidak seperti biasanya. "Karakun sudah tidak ada...."

"Eh!?" Ruby terkejut.
"Karakun dulu kaya akan buah apel ajaib. Semuanya datang ke Karakun memperebutkannya.... Hingga akhirnya Karakun hancur dan Nina beserta Ibu terusir. Di tengah jalan kami diserang serigala-serigala, Ibu.... Ibu sudah pergi. Hans datang menyelamatkan Nina..." Ucap Nina dengan wajah datar. Tidak ada air mata yang membasahi matanya. Ruby mengerti, anak rakun kecil itu sudah melewati masa-masa bersedih.

Ruby pun memeluk Nina. Mengusap-ngusap bulu-bulunya yang halus. "Bagaimana dengan Hans? Biasanya dia melakukan apa?" Tanya Ruby.

Hans sedang tidak ada. Pergi ke desa Vahniir ada keperluan. Di gubuk itu hanya ada mereka berdua ditemani ikan-ikan yang melompat-lompat memercikkan air.
"Dia seorang pemburu, dan juga sering membantu para penduduk..." Ucap Nina.

"Toloonggg!!!!" Ruby dan Nina langsung berdiri dari tepi sungai mendengar teriakan itu.
"Toloongg!!! Aaa!!! Tolong!!!!" Teriakan wanita itu sangat keras. Berasal dari hutan di seberang sungai.

"Kak!" Nina berseru.
"Ya!" Ruby mengangguk. "Asalnya dari hutan!" Mereka berdua pun melonpati bebatuan sungai dan sampai ke hutan di seberang.

"Tolongg!!!!" Suara wanita itu semakin lama semakin menjauh. Seolah menarik Ruby dan Nina terus masuk ke dalam hutan.

Hutan itu dipenuhi pohon pinus yang menjulang. Tinggi dan daun lebatnya menutupi langit.
"Toloongg..." Wanita itu menjerit sambil berlari ke arah Ruby dan Nina.

"Dum! Dum!" Datang langkah kaki besar seorang raksasa bermata satu. Tanduknya tajam keluar dari dahi, bak cula seekor badak.

Ruby pun menarik kapaknya dari punggung dan berlari menerjang Sang Raksasa.

Raksasa itu mengayunkan tongkat besarnya yang terbuat dari batang kayu utuh pohon pinus. Namun Ruby masih cukup cepat untuk melompatinya.

Di udara Ruby melempar kapaknya. Kapak itu berputar seperti bumerang, melewati melingkar Sang Raksasa.

"Crak!!!!" Kapak itu menancap tepat di belakang paha raksasa. "Guraa!!!!" Ruby pun memanfaatkan raksasa yang tengah kesakitan.

Dia berlari kencang mengambil kembali kapaknya. "Crak!!! Crak!!!" Dari punggung Sang Raksasa Ruby mendaki. Menancapkan kapaknya ke daging Sang Raksasa yang meronta-ronta mengguncang tubuhnya mencoba mengusir Ruby.

"Hah!!!" Ruby pun melompat ke udara dari punggung Sang Raksasa. "Hyaaahhhh!!!!!!" Satu ayunan keras kapak itu menancap sempurna ke tulang tengkorak raksasa.

Tanduk raksasa itu pun patah terjatuh ke tanah. Bersamaan dengan darah dan otaknya yang pecah. "BRUK!" Tubuh beratnya jatuh ke tanah. Kehilangan nyawa.

Pohon-pohon pinus berguncang menggugurkan daunnya.

Nina menghela nafas. Kejadian itu terjadi begitu cepat.
"Kamu tidak apa-apa?" Tanya Ruby berbalik badan menghadap wanita itu.

Wanita itu membuka tudung hitamnya. Seluruh tubuhnya ditutupi kain hitam yang memanjang.
Kain itu bergerak tertiup angin memberikan ilusi layaknya tentakel yang bergerak-gerak.

"Terima kasih! Terima kasih! Kau sungguh pemberani gadis berjubah merah!" Tangan wanita itu terangkat. Kulitnya putih nampak kontras dengan kain yang menyelimuti tubuhnya. Rambut dan bola matanya sewarna. Warna hitam pekat, lebih gelap dari bayangan.

Dia berjalan ke arah Ruby. Kain itu sungguh panjang hingga sampai ke tanah. Membuatnya seolah-olah melayang di atas dedaunan yang jatuh.

"Kau kuat sekali gadis jubah merah.... Aku  sungguh terselamatkan..." Jari-jari keritingnya merayap menyentuh tangan Ruby. Sentuhannya terasa dingin.

"Iya... Sama-sama." Merasa risih dan dingin, Ruby pun melepas tangannya. Tidak ingin lama-lama bersentuhan dengan wanita itu.

"Jika ada yang bisa wanita tua ini tawarkan sebagai tindak balas budi.... Sungguh, katakan saja..." Bibir pecahnya tersenyum. Sebagian wajahnya gelap tertutup bayangan dari tudungnya.

"Kkhhh..." Nina datang memeluk tangan Ruby. Ekornya nampak tegang. Bulu-bulunya tegak berdiri. Menatap tajam ke arah wanita berjubah hitam itu.

"Ah... Tidak perlu repot-re..."
"Hmmmm." Wanita tua itu menyela. Sekali lagi tangan keritingnya naik mencoba merayap. Berkutik seperti kaki laba-laba di dekat pipi Ruby.

"Ada... Sihir.... Sihir yang menghalangi nona melihat apa yang yang menjadi hak nona utnuk dikenang.... Sihir itu memanggil awan mengacaukan ingatan Nona..... Seseorang telah sengaja melakukan ini.... Tapi.... Wanita tua ini mampu menghapusnya jika nona cantik menginginkannya...." Ucapnya sambil terkekeh-kekeh kecil.

"Sihir yang menghapus ingatanku?" Alis Ruby menukik penasaran.

"Nona cantik menyimpan kekuatan yang hebat.... Nona cantik telah diberkahi oleh Ibu Tanah ini... Oh sungguh beruntung! Sungguh beruntung! Wanita tua ini iri! Iri sekali!"

"Wushh!!!" Tiba-tiba datang sebuah anak panah melesat. Bunyinya seperti siulan angin. Melaju cepat tepat menuju kepala Sang Wanita.
"Happ!!!" Namun anak panah itu mampu ditangkapnya dengan sempurna. Sepersekian detik sebelum melobangi kepalanya.

"Menjauh dari sini ular!" Hans datang menodongkan crossbownya.

"Ssshhhhh... Hans..... Lagi-lagi kau...." Wanita tua itu mendesis persis seekor ular. Lidahnya menjulur keluar, lidah merah itu terbelah di tengah seperti kadal.

"Kita akan bertemu kembali Nona cantik.... Gadis berjubah merah...." Wanita tua itu lalu pergi. Merayap dengan lincah seperti ular semakin jauh memasuki hutan.

"Jangan tertipu dengan ucapannya!" Hans berlari menghampiri Ruby dan Nina.

Tiba-tiba matanya melotot melihat sosok raksasa tergeletak tak bernyawa. "Kau.... Melakukan ini?" Wajahnya terlihat panik.

"Iya? Tadi raksasa ini berniat menyerang wanita tadi.... Memangnya ada apa Hans?" Ruby menurunkan kapaknya. Kembali menggantungnya di punggung.

"Raksasa adalah makhluk yang cinta damai! Dia adalah makhluk tua yang dihormati di hutan ini! Aku yakin ular tadi telah melakukan sesuatu!" Ucap Hans dengan nada tinggi.

"Dan sekarang.... Raksasa-raksasa cinta damai ini mungkin akan marah kepada kita!"

The Wolf Is ComingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang