Pengakuanku😂

38 5 2
                                    


Awalnya sih ingin sedikit berkisah tentang hidupku. Tetapi semakin ke sini kok aku malu ya. Kenapa mesti diingat, apalagi ditulis. Tapi "wess kadung", bahasa Jawanya begitu.

Jadinya cerita ini aku tulis tidak runtut kejadiannya. Aku ambil sisi-sisi perjuanganku yang berpeluh dan berdebu saja. Itupun tidak semua. Karena tiap kali mengingatnya, hatiku seperti terbakar kembali. Dan luka hati seperti menganga kembali.

So, cerita ini aku jadikan part 7 saja. Sesuai angka kecintaanku, 7. Orang Jawa bilang Pitu, yang artinya Pitulungan. Alias pertolongan. Aku suka dengan angka 7. Dan cerita ini aku selesaikan di part ini. Happy endingkah? Entah!

Selamat membaca!!!!

--------'''''--------'-''''

   *DEAL YANG MERADANG*

Gedung Pengadilan Negeri kali ini seperti monster bagi Rintan. Karena hari ini adalah putusan hukuman atas suaminya. Rintan tidak mau masuk ruang sidang, dia takut dan tidak sanggup mendengar putusan itu.

Dia duduk di taman tengah gedung itu. Sambil sesekali menghela napas berat, menandakan kesedihannya. Matanya kuyu kurang tidur. Badannya kurusan. Karena makan sudah bukan menu utama baginya.

Sejenak dia tertegun, dikejauhan dilihatnya Hakim Sri Windarti SH, keluar ruangan sidang dengan wajah merah padam. Bibirnya terlihat bersungut-sungut dan matanya menatap tajam kepadanya.

Hati Rintan bergetar. Dia berdiri dari duduknya. Di belakang Hakim agak jauh terlihat suaminya keluar dengan lesu. Secepatnya dihampirinya suaminya.

"Bagaimana, Pa?" Tanyanya tak sabar.

"Divonis tetap 10 bulan, Dek." Ucapnya lesu. Rintan tersenyum, diusapnya punggung suaminya.

"Alhamdulillah, tidak apa-apa, Pah. Kan dipotong masa tahanan. Nanti aku uruskan potongan premis lagi 3 bulan. Jadi Papa tinggal menjalankan 7 bulan saja, kan!" Tukas Rintan senang. Tapi raut wajah suaminya tidak menandakan itu. Dia tetap kelihatan sedih. Matanya berkaca-kaca.

"Jangan tinggalkan aku ya, Dek!" Peluknya. Rintan berkaca-kaca.

Sebelum Rintan mengucapkan sesuatu. Suaminya sudah dipanggil untuk masuk mobil tahanan dan kembali ke Lapas.

Sejenak Rintan sedikit bernapas lega. Diminumnya air mineral yang dibawanya untuk lebih  menyegarkan rongga dadanya.

Tiba-tiba,

"Bu Rintan!" 

Rintan terkejut, dikejauhan dilihatnya Ibu Hakim Sri melambaikan tangannya ke arahnya. Dengan benak penuh tanya Rintan nenghampirinya.

"Saya, Bu Hakim."

"Ikut saya ke kantor!"

"Iya, Bu."

Rintan mengikuti langkah Hakim Sri yang mendahuluinya. Dengan sedikit kasar dia membuka pintu kantornya dan menghenyakkan pantatnya di kursi. Kelihatan sangat masgul.

"Bu Rintan, berapa yang sampeyan kasih ke Jaksa PU sehingga dia hanya menuntut 10 bulan penjara untuk suami anda?" Tanpa sungkan dia menanyakan itu. Rintan terjengah tak menyangka.

"Sama, Bu." Jawab Rintan datar.

"Tidak mungkin! Saya tadi hampir specchless. La, kalau Jaksa PU menuntut segitu. Saya ndak bisa dong nurunin lagi. Kalau menaikkan bisa, sayangnya saya kasihan sama anda."

Panjang lebar Hakim Sri berkata tentang vonis tadi. Rintan gerah, dia sangat mengerti ketidak puasan Ibu Hakim ini. Rintan tahu, Bu Hakim tidak percaya jika uang suap jumlahnya sama.

Dan hati Rintan mengakui itu. Uang suap itu tidak sama jumlahnya. Semua itu sesuai interuksi suaminya. Dia tidaj mengerti, suaminya itu tahu darimana alur-alur tentang suap menyuap itu.

Dia permisi pulang yang diiyakan Bu Hakim dengan kemasgulan. Rintan sudah tidak ambil pusing lagi. Karena vonis sudah dijatuhkan. Dan dia tinggal menata lagi hari-harinya ke depan dengan suaminya.

Dia berharap semua berlalu dengan cepat, agar bisa berkumpul kembali. Merenda hari, mengejawantah asa. Menjadikan pintalan kebersamaan yang indah.

Bagaimanapun suaminya adalah segalanya. Dia akan tetap berjuang untuknya.

          T H E    E N D

________

Terimakasih buat semua sesemak yang sudah mlipir dimari. Terimakasih bintangnya. Terimakasih mak Oney yang selalu menyemangatiku..

Lup yu pull

Sampai jumpa di cerita yang lain yaaaa...Ciao!!!

Kidung Sebuah AsaNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ