Recehan Sakral

25 9 8
                                    

Mata Rintan nanar membaca satu persatu data ruangan Hakim di board putih. Dicarinya sebuah nama Hakim wanita yang memimpin sidang suaminya. Sri Windarti SH. Ketemu! Dia di ruang atas, lantai dua.

Bergegas Rintan berjalan menaiki tangga. Dicarinya ruangan pribadi Hakim Sri Windarti. SH. Rintan semakin deg-degan. Baru kali ini dia menginjak Pengadilan Negeri. Dan baru kali ini dia harus berurusan dengan hakim. Sesuai intruksi suaminya. Dia harus menemui Hakim dan Jaksa. Dengan segepok uang..SUAP.  Demi sebuah keringanan hukuman.

Hatinya pedih, semua bertentamgan dengan nuraninya. Tetapi ia pun tak mampu menolaknya. Ah, ini bagai dua mata pisau yang sama-sama menyakitkan.

Tidak menyuap, takut dihukum berat. Menyuap, itu dosa besar. Rintan tak mempersoalkan jumlah uangnya. Bahkan untuk santunan keluarga korbanpun, Rintan sudah memenuhinya.

Kali ini dia membawa uang 15 juta di dalam amplop coklat itu. Untuk sang Hakim Ketua, Sri Windarti. SH. Dan Rintan sudah di depan pintunya.

Tok! Tok!

"Masuk!" Seru suara wanita dari dalam. Rintanpun masuk, dilihatnya seorang wanita berhijab duduk santai sambil memegang berkas kasus. Kaca mata kecilnya menandakan kecerdasan berkelasnya. Sepatu boot hitam mengkilat, dan baju safari panjang seragam PNS membalutnya dengan anggun.

"Permisi, Bu!"

"Silahkan duduk!"

Rintan duduk dengan gamang. Dia tidak bisa menyembunyikan ketakutannya.

"Ada yang bisa saya bantu?" Hakim Sri bertanya dengan mata menghunjam. Penuh kepastian. Rintan menunduk, dia tidak kuat ditatap seperti itu.

"Saya hanya minta keringanan vonis untuk suami saya, Bu." Mata Rintan pun mengembun. Pipinya pias memerah.

"Berapa rupiah yang bisa anda bantu untuk saya, jika saya membantu ringankan vonis suami anda." Elegan banget, kan negosiasinya. Berkelas banget. Berkelas seperti Fir'aun. Sok kuasa dan maruk uang. Rintan ingin muntah sebetulnya.

"Saya hanya mampu segini, Bu." Rintan menyodorkan amplop coklat agak tebal.

"Eit, tunggu! Lain kali hati-hati kalau ada beginian. Diluar banyak wartawan!" Hakim itu secepat kilat menangkup amplop dan menariknya ke bawah meja. Astaghfirullah!

"Oke, anda bisa pulang. Saya akan mempelajari kasusnya. Jangan lupa berdoa, ini kasus berat!" Usirnya halus. Rintan bagai ditabok mendengar kalimat terakhirnya.

Dia terperangah. Seorang Hakim doyan suap masih bisa menasehatinya untuk berdoa. Muna banget, kan. Dan dia segera pamit keluar. Dia benar-benar muak dan tidak tahan.

Ya Allah, kenapa Kau ciptakan manusia yang seperti itu. Benar-benar munafik. Rintan berlalu turun tangga, untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke gedung Kejaksaan Negeri.

Hari-hari yang sangat melelahkan. Karena jadwal bezuk rutin dia hadiri tiap hari di Lapas. Belum dia harus ke sana kemari untuk negosiasi dan sharing.

Semuanya menguras waktu dan pikirannya. Bahkan uangnya. Dia tidak pernah bisa fokus. Hatinya selalu dirundung kepedihan. Kecemasan senantiasa melandanya. Dia tidak memikirkan uang. Bahkan saat dia harus menjual satu motornya untuk membeli kamar dan kasur.

Di Lapas itu, kamar saja keluar uang. Bahkan untuk bezukpun, dia harus bayar pada petugas. Di sana terlalu banyak pungutan liar.

Rintan hanya bisa pasrah. Mau tidak mau itu harus terjadi. Karena saat ini, itu adalah porsi hidupnya.

__€€€€€€_____

Yeeeee..akhirnya bisa update juga. Meski terengah-engah. Semoga menyenangkan.

Kasih bintang yaaa...juga krisan dari semuanya.

Saya butuh ituuuu

Yang krmarin hanya dapat satu bintang. Jadi syedih syekali akyuh. Semangatku kendor jadinya.

Ditunggu yaaaa

Kidung Sebuah AsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang