Chapter 3

120K 2.6K 87
                                    

"Kaaaak.. Kasih tau aku dong yang tadi aku tanya. Aku kan udah gede, masa mau tau apa yang dilakuin sama mama dan papa aja pake gak boleh. Emangnya aku anak kecil?" ucap Aurin bersungut-sungut. Sasya yang sedang di ajak berbicara terkekeh melihat sepupunya ini.

Tadi saat Aurin tidak diberi jawaban oleh semua orang dan marah meninggalkan dapur, Dasya segera menyusul gadis itu ke kamarnya. Ia dan Aurin memang sangat dekat, terlebih lagi sifat mereka yang sama-sama cablak. Namun bedanya hanyalah kepolosan Aurin yang lebih parah dari dirinya.

"Kamu masih 17 tahun, itu artinya masih kecil." ucap Sasya sambil terkekeh melihat Aurin yang semakin memberenggut.

"Kak, aku kan udah 17 tahun. Jadi boleh dong tau tentang itu." ucap Aurin lagi tidak ingin menyerah untuk mengetahui apa yang ingin diketahuinya. Terlebih, ia benar-benar sangat penasaran sekarang.

"Aku gak akan kasih tau kamu, Aurin. Kamu masih-" ucapan Sasya terpotong saat pintu kamar Aurin terbuka dengan lebarnya memunculkan dua lelaki tampan. Austin dan Reon.

"Bagus, sekarang aku ngerasa yang paling tua disini." ucap Sasya saat Austin dan Reon masuk kedalam kamar lalu bergabung dengan mereka yang sedang duduk di ranjang milik Aurin.

"Kakak kan emang tua." sahut Reon yang langsung dihadiahi oleh plototan maut milik Sasya. Ia memang sering sekali bertengkar dengan Reon karena adiknya ini sangat menyebalkan.

"Kakak masih muda. Masih 21 tahun, okey? Jadi belum tua!" ucap Sasya sambil mencebikkan bibirnya. Aurin dan Reon tertawa sedangkan Austin hanya mendengus seperti biasa.

"Kak... Kasih tau yang tadi maksudnya apa? Kenapa mama sama papa saling-" ucapan Aurin berhenti saat Austin yang berada disebelahnya langsung membekap mulutnya.

"Kamu belum cukup umur. Nanti kalo udah gede juga tau sendiri, jadi jangan nanya ke kakak lagi, okey?" ucap Austin sambil melepaskan bekapan tangannya. Aurin langsung menekuk wajahnya dan membuang muka.

"Whatever." dengus Aurin. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan menuju balkon kamarnya yang terbuka. Jika sudah seperti ini, maka Aurin akan lebih memilih menyendiri dibanding bersama-sama seperti tadi.

Austin memghela nafas frustasi. "Bingung mau ngasih taunya gimana." ucapnya terdengar lesu. Ia memang bingung bagaimana cara menjelaskan apa yang tadi dilakukan kedua orang tuanya kepada Aurin. "Lagian papa sama mama juga sih, parah." lanjutnya sambil mengacak rambut frustasi.

"Samperin sana. Kasih tau aja yang menurut lo jawabannya bener. Daripada dia malah nyuekin kita? Gak enak lah. Udah sana," ucap Reon sambil mengibaskan tangannya seperti mengusir Austin.

"Iya, A. Samperin aja, kasih tau apa yang kamu tau." ucap Sasya sambil tersenyum lembut. Austin hanya mengangguk dan tersenyum simpul kepada Sasya. Sabar, batin Sasya.

"Sanaaaaa," ucap Reon mendorong Austin agar bangun dari duduknya. Austin berdecak kesal kepada Reon.

"Iya, iya."

Austin bangkit dari duduknya dan berjalan lunglai menuju Aurin yang sedari tadi membelakanginya. Gadis itu sedang bertopang dagu dan memandang ke langit terang. Wajahnya cemberut dan mulutnya bergumam tidak jelas membuat Austin terkekeh kecil.

"Hei." ucap Austin sambil memeluk Aurin dari belakang. Reon dan Sasya yang melihat itu langsung menahan nafas mereka, rasa sesak tiba-tiba merambat ke hati mereka berdua. Padahal, mereka sudah terbiasa melihat kemesraan si kembar ini.

Aurin membuang mukanya ke kiri saat Austin menyandarkan kepalanya dibahu sebelah kanannya sambil menghadap kearahnya. Ia tidak memberontak karena pelukan kakak kembarnya ini sangat menenangkan. Namun, ia masih marah dengan Austin karena kakaknya itu tidak memberitahu apa yang ia ingin ketahui.

Everything Has ChangedWhere stories live. Discover now