Observasi Kota Mati dan Hujan

Start from the beginning
                                    

"Ya lo usaha gitu. Tanya orang, pakai maps, telpon taksi, booking ojek. Masih punya mulut kan? kaya orang jaman penjajahan aja lo kesusahan"

"Elo kan yang udah buat gue kesini. yahh minimal lo anterin gue sampe jalan depan kek. Lo ngga liat apa, tempat udah sepi kayak kuburan gini? kalau nanti gue di begal gimana? Lo mikirnya yang panjang dong"protes Zee dengan satu tarikan nafas.

Huft cukup melelahkan juga.

Vanno menatap Zee dengan sikap meneliti. Pupil matanya yang hitam pekat bergerak memperhatikan segala ekspresi yang muncul di wajah Zee. Ia sangat faham akan segala kecerewetan gadis ini. Menyebalkan memang dan juga sedikit membuat nafsu makannya turun. Tapi melihat mulut gadis itu yang mengerucut karena sebal ditambah semburat merah yang menjalar di pipi cembungnya yang putih bersih, membuat Vanno hampir saja menarik seutas senyum dari bibirnya.
Hampir. Untung saja tidak. Lebih baik ia menyimpan senyumnya untuk suatu hari nanti saja, pikir Vanno.

Sejurus kemudian Vanno mengalihkan pandangannya.

"Ekhm.. nggak nggak, lu slalu aja ngrepotin gue."

Selesai mengucapkan kalimat, itu Vanno segera menghidupkan mesin motornya yang tadi sempat dimatikan lagi, dan mulai menjalankannya. Menelisir  menjauh dari posisi Zee . Tarikan gas yang Vanno lakukan menghasilkan deruman khas yang seolah membuat sendi-sendi kaki Zee terasa lemas. Hingga ia merasakan ia akan segera limbun. Ia hanya bisa menatap penuh kekesalan melihat laki-laki meneyebalkan yang kini semakin jauh itu. Hah tempat ini bersih sekali. Tidak adakah sebilah batu atau apa saja yang bisa Zee gunakan untuk menimpuki punggung Vanno yang mulai mengecil itu??

°Gue gabakal bisa bayangin gimana mau copotnya jatung gue, kalau gue nurutin apa yang lo mau. Dasar payah.°

***

Zee memaksa kakinya untuk tetap melangkah, menapaki jalanan yang sepi. Ia telah putus asa untuk menghubungi sopirnya atau siapapun juga. Tiap kali mencoba, ia hanyalah disuguhi suara operator jelek yang sangat meneyebalkan. Agen taksi? bahkan Zee sendiri tidak tau ia ada dimana saat ini. Paket internetnya yang baru saja habis, tentu tak bisa membantunya sedikitpun. Hah sudahlah lupakan. Zee malas sekali untuk mengingat kemalangannya hari ini.
  Tidak ada sama sekali kendaraan melintas. Jangankan manusia, semut pun mungkin enggan untuk melintasi jalan ini. Apalagi di tambah kondisi yang sangat tidak bersahabat. Awan hitam pekat yang senantiasa menggantung ditambah tiupan sadis angin musim, seakan menambah kedramatisan hari Zee. Hujan lebat akan segera turun.

"Hufffft"

Zee menghela napas berat dan menghentikan sejenak langkahnya. Ia mengedarkan pandangan menatap sekeliling. Tidak tampak manusia selain dirinya disini. Sebenarnya ini tempat apa? Penuh dengan bangunan yang mirip dengan ruko-ruko, namun semuanya gelap, senyap, dan kotor. Semuanya tertutup dan terlihat mengerikan.
   Ia menelungkupkan kedua tangannya ke wajah. Berharap segala kepanikan dalam dirinya tidak menyeruak.

'Tes'

Zee merasa sebuat tetesan cairan dingin jatuh mengenai punggung tangannya. Sepersekian detik kemudian ganti lengannya yang dijatuhi tetesan air. Ia menengadah cepat. Hujan lebat itu akan segera menghantamnya. 'gawaaattt !!'

   "aaaaaaa"

Zee berteriak spontan dibarengi kakinya yang segera melaju kencang. Ia sudah tidak memikirkan apa-apa lagi. Entah kemana langkah kakinya ini akan membawanya. Yang Zee fikirkan hanyalah ia harus mencari tempat berteduh sesegera mungkin. Dan tempat itu bukan disini. Bukan di sekitar sini. Gemuruh petir dan deruan air hujan di belakang sana, benar-benar membuat kepanikannya memuncak. Kakinya yang tadinya lemas dan berat itu kini terasa sangat ringan dan bersemangat membawa tubuhnya untuk segera keluar dari kota mati menyebalkan ini. Ia tidak memperdulikan jantungnya yang sudah berdegup kencang seakan dua kali lebih keras dari biasanya.  Ia juga tidak memperdulikan lagi rambutnya yang mulai berantakan juga peluhnya yang mulai membanjiri. Ia hanya perlu segera terbebas dengan suasana yang mencekam. Hatinya tak henti-hentinya mengutuk lelaki kejam yang tega sekali meninggalkan ia dan membuatnya terjebak disini. Benar-benar tidak memiliki hati. Kapan Zee akan bertemu dengan lelaki itu? Katakan kapan? Tangannya sudah tidak sabar ingin mengahantam. Tiba-tiba....

"brukkkk"

Zee merasa tubuhnya menghantam sesuatu di tengan jalan dan membuat Zee memeluk secara spontan. Langkahnya yang semula sangat berapi-api kini terpaksa terhenti, membuat hujan menerpanya dengan mudah. Biarlah. Zee tidak peduli. Ia sudah merasa sangat lelah. Peluhnya sudah membanjiri sedari tadi, nafasnya pun sudah tidak beraturan. Itu sangat mengganggu Zee. Biarlah ia menenangkan dirinya sejenak. Menstabilkan nafasnya dengab menghirup dalam udara yang saat ini sepertinya dipenuhi aroma Paco Rabanne Invictus yang sungguh membuat pernafasannya begitu nyaman. Entah, Zee tak pernah terfikir ternyata empat seburuk ini masih saja menyisakan ruang yang cukup menyenangkan.

"Ekhmm gue dateng tepat waktu kan?" ucap seseorang yang tentu saja membuat Zee terkaget dan hampir terjengkang.

Ia lalu melepas pelukannya dan menengadah. Seketika mata Zee terbelalak kaget, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Laki-laki itu didapatinya berdiri dihadapannya dengan payung yang menggantung. Iya, dia Stevanno. Ia juga tidak lupa menampakkan sebuah senyum simpul yang tidak terduga.

Hah? untuk apa laki-laki ini disini? tersenyum? Menegejek Zee??

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Hah? untuk apa laki-laki ini disini? tersenyum? Menegejek Zee??

'Dughhh'

Tanpa pikir panjang, sebuah kepalan tangan Zee berhasil ia luncurkan ke tubuh bagian perut laki-laki dihadapannya ini. Seketika senyum di wajahnya memudar terganti dengan seringai kesakitan. Sedang Zee masih ingin memperjelas, apa tadi berarti Zee memeluk laki laki ini?

"Ck, lo apa-apaan sih?" rintih Vanno sembari memegangi perutnya yang baru saja tersakiti. Sedang Zee hanya menampakkan wajah tak bersalah, malah mimiknya terkesan geram.

" Ini belom seberapa ya, lain kali mungkin idung lo, mata lo, mulut lo, atau pipi lo yang akan bernasib sama kaya perut lo itu." Jawab Zee dengan tangannya yang bersidekap di depan dada. Mata hitamnya mencoba untuk sebisa mungkin menampakkan seringai tajam. Ia harus membuat Vanno takut untuk meremehkannya. Tapi sungguh, Vanno menanggapinya lain. Tidak seperti harapan. Bahkan jauh dari target. Sudut-sudut bibir Vanno malah terangkat menghasilkan sebuah senyuman khas yang biasa membuat para gadis meleleh saking terpesonanya. Senyum tulus yang sama sekali belum Zee lihat sebelumnya. Sebelah tangan Vanno kini terangkat. Menarik hidung Zee dan mengoyak-oyaknya.

Akan kah ia mencabutnya?

Tentu saja tidak. Ia merasa sedikit gemas. Zee memelototkan matanya sempurna. Apa yang laki-laki ini lakukan? Apakah ancaman Zee tadi terdengar seperti lelucon?

"Apaan sih lo. Lepasin tangan lo." Geram Zee dengan tangannya yang sibuk mencoba menyingkirkan ibu jari dan jari telunjuk Vanno yang melekat di hidungnya.

"Terus setelah lo nonjokin muka gue, lo mau apa? nonjok hati gue??" Sungguh kalimat terakhir Vanno barusan membuat tenggorokan Zee gatal, Ia merasa sebentar lagi akan muntah.

***

Gimana-gimana...biasa aja atau gimana??? komen yang banyakk ya supaya cerita ini bisa jadi lebih dari biasa aja OK
Kalau kamu merasa suka, silahkan love, vote, and comment ya Happy Funny Readers....💙💙💙
ZonaJ

My Ponytail GirlWhere stories live. Discover now