"Jangan berurusan dengan Mark, Renjun."

Déjà vu seolah menerpa Renjun. Oke cukup.

"Bukankah kau harus mengerjakan laporan bersama Jeno?"

"Aku serius. Jangan mengalihkan pembicaraan," sahut Jaemin tanpa jeda, dia memandang Renjun layaknya guru konseling yang memandang murid bermasalah. "Dan kalau kau ingin tahu, Jeno sedang sibuk mengurus sesuatu untuk makan malam bersama siapalah-itu aku tidak peduli."

"Urusan kalangan konglomerat memang rumit, ya. Kau ingat waktu―"

"Renjun," hardik Jaemin, nada bicaranya lebih rendah dari biasanya.

Erangan kesal sekaligus frustasi sudah berada di pangkal tenggorokannya kalau Jaemin tidak menatapnya lebih tajam. Mungkin seharusnya ia mengiyakan ucapan Jaemin saja dan ia akan terlepas dari pembicaraan ini. Namun sikap orang-orang yang memandangnya sangsi dan tidak setuju saat melihatnya bersama Mark membuatnya jengah juga. Dia bukannya ingin meledakkan Blue House atau bagaimana bersama Mark, tapi reaksi orang-orang membuatnya berpikir sebaliknya. Seolah itu tindakan kriminal. Padahal pada kenyataannya, semua pertemuannya dengan Mark tidak direncanakan. Demi Tuhan, dia bahkan pertemuannya bisa dihitung dengan satu tangan.

Seolah membaca konflik batin di keterdiaman Renjun, sorot mata Jaemin agak melembut, begitu juga dengan nada bicaranya. "Aku tidak ingin kau terluka lagi, Injun."

Tapi bisa apa dia kalau sahabatnya memandangnya penuh kesungguhan dan empati seperti itu? Tentunya Renjun tidak sampai hati untuk menyangkal kata-kata Jaemin.

"Sepertinya kalian salah paham Jaemin. Aku tidak tahu kalian mendapat ide darimana tapi, tapi aku tidak ada hubungan apapun dengan Mark hyung."

Sebuah resolusi tampak berkilat di mata secoklat the itu saat Jemin menghadapkan tubuhnya penuh pada Renjun.

"Kau yakin bisa mempertahankannya seperti itu?"

"Ya."

Bohong.

Л

"Bukannya aku ingin mengusirmu―"

"Kau sedang mengusirku sekarang."

Laki-laki bermata rusa itu berdecak. "―tapi bukankah harusnya kau sibuk saat ini?"

Ada dua alasan mengapa Lucas gatal ingin menendang Mark keluar dari kantornya. Pertama, ia bosan melihat tampangnya yang sudah bercokol di atas sofa coklat di tengah ruangannya sejak siang tadi. Yang kedua, seharusnya makhluk berkepribadian es itu bersiap untuk acara makan malam bersama keluarganya. Acara yang cukup prestisius dan penting kalau boleh dibilang. Yang mana jika temannya itu tidak hadir, bisa dipastikan kakeknya tidak akan segan mengirim kepalanya ke kutub utara.

"Kau bersikap seolah-olah hanya aku yang wajib datang ke acara sialan itu," jawab Mark santai.

"Setidaknya bukan aku yang harus membawa pasangan ke meja jamuan nanti," sindir Lucas sambil menaikkan satu alisnya. Hal itu menarik sedikit perhatian Mark. Sedikit.

"Bukan pasangan. Teman."

"Yeah, well, same difference."

"Lalu?"

Mark ingat persis bagaimana rupa ibunya kemarin malam di ruang keluarga saat sedang mewanti-wantinya untuk membawa teman. Merepotkan. Walau saat itu ibunya hampir menyerupai maleficent, dia tidak bisa menampik rasa benci pada ide tersebut. Jangankan membawa pasangan, membayangkan berada di jamuan makan malam itu membuat Mark mual dan jijik. Dia benci formalitas dan pencitraan.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now