Mark mendengus. Apa dia sebegitu tidak bisa dipercayai? Karena hal yang bahkan bukan kesalahannya? Itu tidak adil.

"I am, capable of many things," Mark mengakui tanpa sungkan. Seolah mengatakannya adalah sebuah katarsis tersendiri. Namun bagi Lucas mungkin itu adalah awal dari persekusi seorang Mark Lee.

"Tapi aku bukan Jeno. Dan aku tidak memandang Renjun dalam konteks itu."

Lucas mengernyitkan alis. Tidak yakin. Bagaimanapun tindakan Mark kerap kali berkontradiksi dengan kata-katanya. Dan Lucas jelas khawatir.

π

"Kau tidak berpikir sikapmu keterlaluan terhadap Mark hyung?" ungkap Renjun hati-hati. Sebenarnya ia enggan memecah ketenangan senja di taman belakang rumah namun ia tidak tahan untuk menanyakan sikap Jaemin yang akhir-akhir ini dirasa berlebihan.

"Tidak," sahut laki-laki bermarga Na itu pendek dan tajam. Renjun mengernyit.

"Kau yakin?"

"Aku yakin pukulan itu tidak ada artinya bagi Mark. Kau tahu bukan hanya aku yang atlet Taekwondo," jawab Jaemin malas. Dia memutar bola matanya melihat Renjun hendak membuka mulut.

"Hell, dia bahkan mungkin menguasai Judo dan Kung Fu dan kau tidak akan pernah tahu hanya karena dia membiarkanku memukulnya," gerutu Jaemin.

Laki-laki yang mengenakan sweater hitam itu hanya mengerjap singkat. Ia tampak berpikir menimang kata-kata Jaemin.

"Itu tidak memberimu izin untuk memukulnya seenaknya." 

"Kau membela Mark?"

"Tidak."

Jaemin menatap Renjun sangsi. Tangannya ia silangkan di depan dada dengan tatapan mata datar yang mengatakan 'kau-bodoh-kalau-kau-pikir-aku-mempercayainya'. Renjun menghela nafas panjang sambil memalingkan wajahnya. Daripada melihat wajah menyebalkan Jaemin, ia lebih memilih memandangi hamparan terompet indigo bunga hyacinth. Renjun berniat mengabaikan Jaemin, lambat laun ia jengah juga dengan keheningan yang canggung dan tatapan tajam Jaemin serasa melubangi kepalanya.

"Tidak. Aku hanya tidak mau kau terlibat masalah." Dan aku tidak mau berhutang rasa bersalah pada Mark hyung. Jaemin tertawa sarkastis.

"Mark bukan orang yang suka membesar-besarkan masalah seperti itu. Kalaupun iya dia akan mengungkit masalah ini, dia yang akan mendapat dampak lebih parah," Jaemin tersenyum miring.

Renjun tertegun mendengarnya. Mungkin sesaat yang lalu ia lupa siapa Mark, bagaimana latar belakangnya dan posisi yang didudukinya saat ini. Walaupun ia tahu Mark tidak akan sekekanakan itu hingga menuntut Jaemin, Renjun tetap tidak bisa membiarkan Jaemin seenaknya melayangkan tangannya ke kepala Mark kapanpun ia suka.

"Katakanlah seperti itu, tapi jangan bersikap berlebihan seperti itu lagi, oke? Bagaimanapun dia sahabatmu dari kecil Jaemin," tegur Renjun, dia ingin mengakhiri pembicaraan yang disesalinya untuk dimulai dari pertama kali.

"Itu tidak berlebihan. Dia tidak punya hak menyentuhmu seperti itu."

Kini giliran Jaemin yang menuntut perhatian penuh dari Renjun. Melihat perubahan nada bicara dan gerak-geriknya, Jaemin juga memiliki sesuatu yang perlu―harus―Renjun dengar. Biasanya, kalau Jaemin sudah dalam mode serius semi galak seperti ini, Renjun tidak akan menyukai apa yang akan disampaikan Jaemin.

"Sebagai klarifikasi, Mark tidak menyentuhku," ujar Renjun penuh penekanan pada kata tidak. Yang jelas-jelas dianggap sebagai angin lalu oleh Jaemin yang kini mengunyah kue kering buatan Kun dan menenggak rakus earl grey hangat yang beberapa saat lalu ia seduh.

Race Of The Heart [COMP.]Where stories live. Discover now