There is a clear boundary between owning and dispossessing
Yet, we're still wondering and trying
Usai menggangguku di sekolah, Banyu Biru juga menginvasi waktu tidurku.
Dia selalu siap sedia di atas meja belajar, mengocehkan hal-hal tidak jelas atau mengomentari kotornya kamarku, lalu pergi setelah sesajen—jatah satu bungkus cokelat dan enam tangkai permen tiap hari—nya habis. Namun, ada kalanya aku merasa senang pada kehadirannya. Kalau aku tidak sedang menjebaknya dengan cokelat berisi kacang mete, Banyu Biru akan diam mendengarkanku bicara karena yang dilakukannya hanya mengunyah.
"Genre-nya distopia," ocehku sambil melambai-lambaikan buku baruku. "Tapi kotanya kedengaran sama saja dengan yang sudah ada sekarang. Pemerintahan korup, konspirasi, tatanan masyarakat kacau—bukan hal baru. Kalau nama kota ini diganti, semua pejabatnya pakai wig pirang, terus anak-anak kelasku dikasih senjata api, kami sudah siap berlakon cerita di buku ini."
Tidak banyak yang menyukai buku novel dalam kalangan anak seusiaku. Kalau pun ada, mereka takkan bicara denganku karena menghindari kalimat 'Omong-omong, kau enggak akan naik kelas tahun ini. Muahaha!'
"Berarti sekarang kita hidup di dunia distopia." Banyu Biru menjilati bekas cokelat di jarinya sebelum berkata lagi, "Besok kasih aku gulali, dong."
"Gulali sudah punah di dunia distopia," kataku.
Banyu Biru membuat bunyi mendecap. Bibirnya belepotan cokelat. "Kenapa kamu suka membaca yang begini? Dunia hancur, monster keliaran ...."
"Karena kalau dunia hancur, aku enggak perlu sekolah. Monster-monster juga tidak menggunjing." Kulemparkan tisu ke arahnya. "Eh, apa kamu seumuranku?"
"Kamu mau aku sebaya denganmu atau tidak?"
Aku mengerutkan kening. Kenapa dia terus-terusan menanyakan keinginanku di saat dia seharusnya bisa memiliki jawaban sendiri?
"Sebaya ...?" kataku, terdengar seperti permintaan.
"Ya, sudah. Kita sebaya." Banyu Biru kembali berkutat dengan bungkus cokelatnya.
Mataku pun melayang ke kakinya yang kotor dan bekas luka samar berbentuk bulatan di bawah lengannya, hampir tak terlihat. "Kamu habis dari mana, sih?"
"Nangkap ikan buas."
Kutunggu Banyu Biru melanjutkan kalimatnya, tetapi dia makin fokus melenyapkan sisa cokelat dari bungkusannya. Aku beranjak dan mengambil handuk yang teronggok di lantai. Kulempar handuk itu ke atas kepalanya.
"Lap badanmu, dong," kataku. "Aku mau, sih, menyuruhmu mandi. Tapi, nanti Mama terbangun. Kalau bunyi air keran terbuka sedikit saja, mode tidur matinya langsung off, insting Mama langsung main demi penghematan biaya air."
KAMU SEDANG MEMBACA
Indigenous
Fantasy[Completed Chapter] Anak itu muncul di jendela meski tak pernah ketahuan kapan masuknya. Tahu-tahu hidupku sudah dijajahnya. Banyu Biru bilang ingin aku jadi temannya. Tiada orang waras ingin berkawan denganku, kubilang, karena aku Anila Jelita. ***...