Time is not Ticking (Part 1)

Start from the beginning
                                    

            "Siapa namamu?".

            "Nicola. Nicola Hanley. Kau?".

            "Daniel Wilder. Panggil saja aku Daniel".

            Konversasi itu tak berakhir di sana. Sejak masih remaja, Daniel telah didoktrin kakaknya untuk mengejar apapun yang ia suka. Termasuk harta. Termasuk wanita. Jadi ketika ia jatuh cinta pada Nicola, batinnya sekonyong-konyong bersumpah untuk mendapatkan hati gadis itu apapun yang terjadi. Walaupun itu berarti ia harus meninggalkan kekasihnya, Gracia.

      Hubungannya dengan Nicola berjalan mulus, kendati sebenarnya cukup sulit untuk mendapatkan hati gadis itu. Nicola bukan gadis murahan. Ia tak dengan gampangnya tergoda dengan gelimang harta yang Daniel tawarkan. Ia tak serta merta jatuh hati melihat gemilap Lamborghini atau kemilau Rolex yang Daniel milikki. Gadis itu tak seperti Gracia, yang berkencan dengan Daniel demi deretan barang-barang bermerk yang tak mampu ia beli. Nicola juga bukan gadis yang mau menukarkan tubuh demi lembaran poundsterling. Tabiat mereka berbeda.

            Ya, berbeda. Mungkin terlalu berbeda hingga Daniel tak menyadari bahwa gadis itu sesungguhnya adalah seorang anggota Interpol[1] yang tengah mengincarnya. Seekor serigala yang berkedok angsa cantik demi membongkar bisnis opium[2] ilegal yang diterjuninya.

            Well, sebenarnya Daniel hanyalah kurir antar negara yang disewa si pendiri kartel. Tugasnya tak lebih dari berpelesir keliling kota-kota di berbagai benua untuk mengawasi pengiriman barang yang biasanya ditangani kurir di bawahnya. Ia telah sukses menggeluti pekerjaan itu selama hampir empat tahun. Tetapi sepertinya, insiden kecil di Oregon beberapa bulan lalu telah memicu kecurigaan Interpol.

            Dan puncaknya adalah kemarin malam, ketika ia dengan bodohnya terpancing ucapan Nicola dan mengajaknya ke markas besar.

            "Temanku butuh opium. Apa kau tahu dimana bisa mendapatkannya?", tanya Nicola sore itu, ketika mereka tengah bercengkerama di Greenwich Park. Daniel dengan bodohnya segera menawarkan komoditi bisnisnya pada Nicola. Jumat, 26 Juli 2013, tabir yang menutupi identitas Daniel terkuak.

           Yang ia sebut markas besar itu bukanlah sebuah bangunan megah dengan sistem pengamanan ekstra ketat. Sama sekali bukan. Tempat itu hanyalah sebuah bekas hotel tua di daerah suburban London. Bangunannya terdiri dari tiga lantai, dengan cat dinding yang telah menguning dan jendela-jendela berlapis debu. Di depannya menggantung sebuah neon box bertuliskan "Gwain Hotel" yang tak lagi menyala. Semenjak bangkrut beberapa tahun lalu, pemiliknya telah mengalih fungsikan bangunan itu sebagai pusat bisnis barunya.

 "Apa tempat ini tidak berbahaya, Daniel?", ucap Nicola seraya mencengkeram erat lengan Daniel, berpura-pura takut ketika langkah mereka bebarengan menjejaki koridor tua di lantai tiga.

            "Tidak, tenang saja. Tak ada hantu di sini", Daniel mencoba menenangkan.

Mereka tiba di sebuah ruangan luas yang nampaknya adalah bekas bar. Ruangan itu diterangi cahaya temaram, dengan dua buah meja billiard di tengah-tengah dan beberapa rak minuman menempel di dinding. Udaranya cukup pengap, tetapi itu wajar mengingat ini adalah bangunan tua yang air-conditionernya tak mungkin lagi berfungsi.

Orang-orang yang berada di sana spontan menoleh pada pasangan yang baru masuk itu dengan wajah tak ramah. Nicola mencengkeram lengan Daniel semakin erat.

"Daniel, siapa dia?". Hugo, salah satu kolega Daniel, serta merta mengajukan pertanyaan penuh selidik.

"Pelanggan baru", Daniel menjawab ringan. Tetapi jawaban itu tak lantas membuat kolega-koleganya berlega hati. Transaksi jual beli memang tak seharusnya dilaksanakan di markas besar. Hal itu dilakukan agar tak ada pihak luar yang mengendus isi bangunan itu.

Time is not TickingWhere stories live. Discover now