Opa Dimakamkan di Situ

556 67 18
                                    

Ini ceritaku ketika pindah ke kampung halaman Papa.

Aku masih kelas lima Sekolah Dasar. Masih kecil dan penakut level tujuh belas.

Kampung Papa bagus pemandangannya, walau bukan bukit dan gunung, ada sungai dan sawah yang indah.

Yang jadi masalah adalah letak sekolahku yang cukup jauh dari rumah. Lewat sawah, ladang, dan kuburan. Betul, kuburan.

Bukan sembarang kuburan tapi kuburan kampung yang sudah sangat tua. Pohon-pohon kamboja berbunga putih yang tinggi dan berbonggol-bonggol dahannya saking tuanya. Nisan-nisan yang sudah kabur penandanya digantikan lumut yang meliputi segala sudutnya.

Suasana di situ gelap, lembab, dan angker, terutama di mata seorang anak kecil yang penakut. Melihatnya dari seberang jalan saja sudah membuat bulu kuduk berdiri.

Apalagi harus melewati pinggirannya untuk sampai di ujung jalan yang ditandai sebuah rumpun bambu sebagai penanda akhir areal kuburan dan masuk ke jalan pinggir sawah.

Kata Papa, di ujung kuburan itu ada sepetak makam yang agak lain.

"Opamu dimakamkan di situ. Jadi jangan khawatir. Ada Opa yang ngawasi kamu," jelas Papa.

Timbul sedikit keberanian di hati setelah mendengar penjelasan Papa. Setidaknya ada keluarga yang dimakamkan di sana. Sekutu.

Memang tidak setiap hari aku harus berjalan melewati jalan kuburan itu karena kalau keponakan Papa sedang menganggur, dia yang mengantarku naik motor kerompengnya yang berbunyi nyaring, yang kadang aku takut suaranya bisa membangunkan apapun itu yang ada dalam deretan ratusan makam.

Atau Mama kalau adik bayiku sedang ada yang jaga.

Tapi hari itu sungguh sial. Keponakan Papa sedang ikut kerja di perkebunan tebu di kampung sebelah selama beberapa hari. Mama dibuat sibuk oleh adik bayiku yang rewel karena demam.

Dengan langkah ragu aku masuk ke jalan kuburan, satu-satunya jalan menuju sekolah.

Satu-satunya rumah yang ada dekat situ adalah rumah Wak Sikan, tukang kunci kuburan. Ia jarang terlihat di siang hari entah mengapa.

"Sendirian, Nak ?"

Aku yang sudah deg-degan terlompat kaget. Wak Sikan. Dengan kostum kebesarannya, kemeja katun hitam tanpa kancing dan celana gombrang selutut dari bahan yang sama yang hanya ditalikan dengan tali sumbu kompor atau kadang tali rafia.

"I...I..Iya, Wak..." jawabku gemetar, karena bagiku Wak Sikan sama seramnya dengan hantu-hantu kuburan.

"Hati-hati, Nak. Kadang ada ular atau kalajengking melintas."

Waduh. Cobaan tambahan. Binatang-binatang berbisa !

"Oh, ya. Kalau ketemu Opamu jangan lupa disapa, ya ?"

Aku mengangguk ragu. Memang kata Papa ada makam Opa di situ. Tapi.... Kalau ketemu berarti.... Iiihh....

Wal Sikan terkekeh lucu melihat aku pucat ketakutan.

Dasar orang tua jail ! Mengapa juga dia muncul siang hari ini. Tumben.

Aku melangkah cepat-cepat melintasi jalan pinggir kuburan itu tanpa berani menoleh. Hanya berani melirik dengan sudut mataku kalau aku merasa ada gerakan atau hal ganjil.

Tapi tidak ada. Aman. Itu kuburan Belanda yang agak terpisah di ujung kompleks pemakaman sudah terlihat.

Ya. Kakek buyut Papa adalah orang Belanda yang bekerja sebagai staff di pabrik gula di kampung sebelah.

Petak kuburan Belanda itu tidak lebar tapi sangat mencolok karena makamnya rata-rata terbuat dari marmer atau batu batu besar yang indah dengan epitaph - tulisan kenangan- di setiap makamnya. Tapi tidak ada satupun patung seperti di kerkhof umumnya.

Not So Scary Stories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang