Beringin Melambai

827 94 29
                                    

Kilat menyambar lagi. Diikuti suara petir yang sangat keras.

Aku menjerit secara spontan.

Seandainya saja kuturuti saran ibuku tadi.

"Nena, hari mulai mendung. Besok saja kamu mengerjakan tugas matematikamu."

Seandainya saja aku tidak ikut berlama-lama nongkrong mencicipi menu promosi kantin baru di ujung jalan bersama teman-teman, kami pasti sudah kelar menyelesaikan dua puluh soal matematika sialan itu.

Seandainya rumah Tina, tempat mangkal kami, tidak sejauh ini. Melewati tanah-tanah kosong tanpa rumah satupun.

Seandainya Bu Wati, guru matematikaku, tidak sesangar satpam pabrik reaktor nuklir.

Jleggaarr !! Jleggaaarr !!

Petir dan kilat menyambar tak jauh di depanku.

Sontak kutarik rem motor matic- ku. Ragu untuk terus maju. Beberapa puluh meter di depan awan hitam tampak menumpahkan hujan entah di mana, yang disusul dengan kilat dan petir yang susul menyusul. Ditambah pula dengan angin yang mulai menggila.

Rintik hujan mulai menerpa kaca helmku.

Mesin motorku mendadak mati.

Kucoba tombol starter beberapa kali, tapi tanpa hasil. Aku mulai panik. Baru saja akan ku coba starter manual ketika kilat dan petir kembali kompak unjuk kekuatan.

Klaapp... Jleggaaarr !!

Sebatang semak paling tinggi berdaun jarang di tikungan tiba-tiba berasap, dan percikan api muncul.

Pohon itu jadi gosong meranggas mengerikan.

Aku ternganga kaget. Oh, tidak. Posisiku tidak bagus. Di tengah jalan terbuka, aku sasaran mudah untuk tersambar.

Titik hujan semakin deras. Aku menoleh ke kanan-kiri jalan.

Kira-kira dua puluh meter dari pinggir jalan di belakangku, di antara padang rumput dan semak perdu, nampak sebatang pohon beringin yang rimbun. Satu-satunya pohon yang tumbuh di situ.

Terpecah antara ingin cepat pulang tapi takut menembus badai yang seolah tak berjeda, atau berteduh di bawah naungan beringin yang saat ini seperti melambai-lambai memanggil ketika angin bertiup.

Kilat yang menyilaukan kembali membelah langit, semakin dekat. Lalu suara petir yang memekakkan menambah seram suasana jalan yang sepi.

Setengah berlari aku menuntun motorku mengikuti jalan setapak sangat sempit yang baru saja kulihat. Terseok-seok aku menerobos semak yang menghalangi jalan.

Kupasang standar penyangga motor dengan tergesa-gesa di bawah bagian pohon yang cukup membuatnya terlindung.

Sulur-sulur beringin yang membentuk tirai indah kusibakkan. Aku duduk di atas salah satu tonjolan akar.

Cukup nyaman, pikirku. Seperti berada dalam ruangan dengan penerangan lampu lima watt.

Di luar, badai semakin ganas. Tapi di dalam naungan kanopi beringin bersulur, hanya desiran angin lembut yang terasa. Perlindungan yang sempurna.

Segala rasa takutku seperti tertinggal di luar tirai sulur. Termasuk kekhawatiran akan kemungkinan pohon beringin ini jadi sasaran sambaran petir. Sangat damai dan tenang di dalam sini.

Aku teringat ibu yang pasti was- was melihat cuaca separah ini dan anak gadisnya entah di mana.

Kukeluarkan hape dari saku jeansku. Mati.

Ada apa ini. Perasaan baterainya masih penuh setelah ku charge di rumah Tina tadi. Listrik statis kah?

Kucoba hidupkan berkali-kali tapi tak berhasil juga.

Not So Scary Stories Where stories live. Discover now