Mulutnya Mau Dijahit ?

505 58 12
                                    

Tukang jahit tua itu duduk menekuri jahitannya di bawah pohon rindang di depan sebuah deretan bedeng.

Terdengar tangis pilu seorang wanita dan hardik marah seorang pria dari sebuah pintu bedeng. Disusul dengan suara pukulan dan jeritan kesakitan dari si wanita.

Seorang laki-laki berusia tiga puluhan membanting pintu dengan keras.

Pak tua penjahit mengernyitkan dahi.

"Sudah biasa, Mang," kata si ibu yang menjahitkan gordennya yang sobek. "Suaminya itu ringan tangan. Padahal si Eneng itu orangnya rajin dan gak banyak tingkah. Kasihan. Mau bantu tapi urusan rumah tangga orang..."

Pak tua penjahit mengangguk-angguk sambil tampak berpikir.

Tak lama kemudian wanita yang disebut ibu tetangganya 'si Eneng' tadi muncul sambil membawa selembar celana panjang. Pipinya memerah dan matanya sembab.

"Mang, celana suami saya sobek. Mau saya jahit sendiri tapi terlalu rumit sobeknya. Bisa, Mang ?"

Pak tua penjahit memeriksa celana itu. "Ah, mudah ini, Neng. Biar saya jahit seperti aslinya."

"Tapi, Mang," kata si Eneng menarik kembali celana itu dengan ragu. "Saya nggak punya duit. Tinggal lima ribu." Ia mengeluarkan selembar uang lusuh.

"Nggak apa apa, Neng. Kalau memang nggak ada, seikhlasnya aja. Dua ribu juga boleh."

"Si Mamang jahit ini baik hati. Semoga kebaikannya jadi berkah," kata si ibu tetangga. "Duluan ya, Neng ?"

Tak lama kemudian si suami kembali dengan wajah beringas. Ia terlihat semakin marah melihat istrinya duduk menunggui si tukang jahit keliling.

"Sudah pulang, Bang ?" Sapa si Eneng takut-takut.

"Ngapain kamu nongkrong di situ ? Gak ada kerjaan lain apa?" Jawabnya sambil melotot yang membuat si Eneng menunduk ketakutan. Pipinya yang baru kena tampar terasa berdenyut.

"Istrinya sayang sama suami. Ini celana suaminya yang sobek minta dibenerin," kata Pak tua itu.

"Ah, buang-buang duit ! Mana duitnya, mending saya pakai beli rokok !" Ia merebut paksa uang lima ribu di tangan istrinya.

"Aduh, kok gitu sama istri. Mau dijahit mulutnya ?" Kata Pak tua penjahit tanpa takut.

"Heh, dasar tua bangka ! Kalau gak tua aja sudah kuajak berantem kamu !" teriak si suami sambil berlalu.

"Mang, nggak jadi deh jahitnya. Biar nanti saya coba jahit tangan aja," kata si Eneng.

"Ah, sudahlah. Kan tadi sudah saya bilang seikhlasnya. Kalau nggak ada ya nggak apa-apa, Neng. Bener."

"Makasih ya, Mang ?"

"Suaminya suka kejam gitu tiap hari ?"

Si Eneng menunduk.

"Kalau mantu saya sudah lama saya jahit mulutnya. Biar kapok."

"Ah, Mamang. Jangan. Kasihan."

"Kamu yang kasihan, Neng..."

Malam harinya si suami bengis mimpi buruk. Ia didatangi si tukang jahit tua yang naik sepeda tua. Wajah si penjahit tua berubah sangat menyeramkan, kulitnya hijau dengan mata merah menyala. Kulit keriputnya ditumbuhi sisik kasar seperti biawak.

"Kamu suami bengis !" Teriaknya serak. Ia mengeluarkan jarum dan benang dari kotak jahitnya. Sebuah jarum yang besar dan sangat runcing mengkilap. Ia mendekati si suami yang tiba-tiba terduduk tanpa bisa bergerak.

"Kamu mau apa, Pak Tua ?"

"Menjahit mulutmu. Biar istrimu tidak lagi menderita mendengar caci-makimu." Suaranya terdengar sangat menyeramkan. Ia mulai memasukkan sehelai benang yang tampak kuat ke dalam jarum. Lalu ia menyeringai sambil mendekati si suami.

"Pak Tua! Berhenti ! Apa yang kau... hmpff... " Si suami ingin menjerit menahan sakit saat satu persatu jahitan disematkan Pak tua itu pada bibirnya. "Tidhhh... hmpff..."

"Rasakan rasa sakit yang selama ini istrimu derita !"

Si suami terbangun dengan keringat bercucuran. Ya, ampun ! Mimpi yang seram.

Ia melihat istrinya sudah terbangun dengan wajah pucat ketakutan sambil menatap wajahnya. Ia baru akan membentak sang istri yang diam terpaku, tapi ia teringat mimpinya lagi.

Si Eneng mundur ketakutan dengan mata melotot. Ia menunjuk-nunjuk wajahnya.

Si suami hilang kesabaran. Ia membuka mulut untuk menghardik istrinya. Tapi mulutnya tak mau terbuka.

Si Eneng mulai menangis histeris.

Dengan penasaran si suami menghadap cermin. Tidak. Tidak mungkin. Ini hanya mimpi. Mengapa bibirnya benar-benar dijahit ? Tiiiddaaaakk !!!

Beberapa hari kemudian, ratusan kilometer dari rumah bedeng si Eneng.

"Pak, tolong dijahit yang rapi ya ?" Seorang lelaki berpenampilan kalem datang membawa sepotong kemeja. "Dikecilin dua senti saja."

Tiba-tiba seorang wanita datang dengan wajah kesal. Ia menggandeng dua anak kecil usia balita.

"Di sini rupanya. Mas, gantian dong ngasuh anak-anak. Saya capek. Saya juga butuh istirahat dan sosialisasi sama teman-teman." Wanita itu nyerocos heboh.

"Lha, saya kan baru pulang kerja, Dek. Kamu kan dari tadi sudah istirahat." Si suami berkata dengan suara tenang.

"Eh, jangan mentang-mentang saya nggak kerja terus saya dibilang santai-santai ya ? Pulang sana. Cucian piring masih numpuk. Halaman belum disapu. Ini, bawa anak-anak. Aku mau ngobrol-ngobrol dulu sama ibu-ibu."

Si suami hanya menarik napas panjang dan menggandeng dua anaknya.

" Istrinya tiap hari gitu, Mas ?" Tanya Pak tua penjahit keliling.

Si lelaki kalem mengangguk lesu.
"Mau saya jahit mulut istrinya, Mas?" Tanya Pak tua itu serius.

 "Mau saya jahit mulut istrinya, Mas?" Tanya Pak tua itu serius

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hati-hati bagi yang suka bawel en kejam sama orang.
Nanti dimimpiin sama Pak tua tukang jahit mulut !!!

Ha ha hahaha.....

Thank you.

Deningcaya

Not So Scary Stories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang