Pt. 1

1.6K 236 48
                                    

Sepoi angin membawa helai rambutku menuju wajah, menyebabkan pandanganku sedikit terhalang saat berusaha meneliti paras asing tersebut.

Dia masih di sana, pada posisi yang sama, dan masih menyodorkan bungkusan berupaㅡentahlah, aku pun tidak tahu apa yang ia bawa di dalam kertas itu, tapi dari logo kurasa isinya makanan.

"Ambil saja, aku sedang bahagia, makanya aku berbagi kebahagiaan itu padamu." Ia bersuara lagi setelah sekian lama berdiam diri sembari mempertahankan garis di bibir. "Asal kau tahu saja, Nona. Aku sangat jarang mau membagi apa yang kupunya pada orang lain, terlebih itu orang asing."

Alisku mengernyit bingung. "Aku tidak memintamu untuk memberiku sarapan gratis."

"Kau malu? Tidak perlu. Lagipula aku ikhlas kok."

"A-apa?"

Pemuda itu menarik kembali kertas yang hendak ia berikan padaku, lalu mengambil langkah maju. Seiring tapakan kakinya yang panjang mulai mengikis jarak, aku pun tersadar dan bergegas mengulurkan satu tangan sambil memasang wajah garang. "Jangan mendekat!" Dan ia berhenti.

"Kenapa?" tanyanya. "Aku hanya ingin memberimu sarapanㅡ"

"Aku tidak butuh," selaku lebih cepat, kemudian menyelipkan beberapa helai rambut ke sela telinga.

Tiba-tiba dia menghela. Kendati suara di sini terlampau bising, tetapi ajaibnya, aku dapat merekam suara lirih itu dengan cukup baik.

"Memangnya kau tidak lapar?" Seakan masih belum mau menyerah, dia memberi pertanyaan lagi.

Tanpa banyak kata, aku langsung menggeleng sambil berusaha menimang-nimang jarak antara kakiku dengan tepian gedung yang akan langsung membawaku ke lantai dasar jika saja aku ceroboh.

Setelah melirik kepastian yang hendak kucari, aku pun kembali menatap pemuda di sana sambil mengepalkan kedua tangan saat berujar, "Pergilah. Jangan halangi aku."

Dia tidak langsung menjawab, tidak juga melakukan tindakan, hanya membisu. Saat satu tangannya menggenggam erat kantong yang sempat ia sodorkan padaku, satu tangannya lagi masih tersimpan rapi di dalam saku celana panjang. Bukan jeans, melainkan semacam celana olahraga.

Biar kutebak. Dia termasuk remaja tanggung yang hobi mengejar fisik sempurna melalui olahraga berat, semacam gym, mungkin.

Seharusnya aku tidak peduli.

"Aku tidak bermaksud menghalangimu. Apa ada perkataanku yang bilang bahwa kau tidak boleh bunuh diri?" Kekehan lolos dari bilah bibirnya sebelum melanjutkan, "Aku hanya mau memberimu sarapan terakhir. Setidaknya kau bisa mati dalam keadaan bahagia sebab kau merasa kenyang."

Sejurus kemudian, sensasi hangat langsung menyambangi kedua belah pipiku. Merasa cukup dipermalukan, aku bergegas membuang muka sekadar untuk menetralkan rona merah sialan ini.

Lama kami terdiam, hanya suara angin serta deru kendaraan saja yang terdengar. Aku bahkan dapat menangkap suara paling jauh, seperti sirine ambulans yang kemungkinan besar tengah berusaha menyelamatkan satu nyawa.

Tiba-tiba aku teringat tujuan utamaku berada di sini. Benar. Kenapa aku malah masih bertahan seperti orang bodoh?

"Hei, Nona." Aku menoleh begitu suara pemuda di depanku kembali terdengar. Keterkejutan menghampiriku saat mendapati sosok asing tersebut sudah cukup dekat dengan keberadaanku sekarang.

Belum sempat menyuarakan protes atau amarah yang siap meluap, sedetik berikutnya, aku dibuat bungkam ketika ia berkata, "Aku tidak tahu apa yang membuat pemikiranmu sangat dangkal. Mungkin kau mempunyai banyak masalah dan membuatmu berpikir bahwa kematian adalah satu-satunya jalan yang bisa membuat perasaanmu lebih tenang. Tapi, itu bukanlah pilihan terbaik untuk menyelesaikan masalah."

Kakiku terpaku hebat walau aku tahu saat pemuda itu mulai mendekat sembari melanjutkan, "Tidakkah kau berpikir bila masih banyak orang yang nyaris menemui ajalnya malah memohon agar usia mereka dapat diperpanjang?"

Aku menggeleng samar, berusaha mundur sedikit demi sedikit. "Kau tidak mengerti."

"Kau benar," serunya tak kalah cepat. "Aku memang tidak mengerti alasanmu melakukan ini. Aku tidak akan mengerti. Hanya kau dan Tuhan yang mengerti perasaanmu. Namun, aku tahu bagaimana rasanya ada di posisimu. Percayalah. "

"Pembohong!"

Tiba-tiba ia berhenti melangkah, lalu menyematkan seulas senyum terkesan amat manis. "Kau boleh mengataiku pembohong, pembual, pendusta, atau apalah. Itu hakmu, Nona. Tapi kau harus ingat, bahwa aku pun mempunyai hak yang sama."

Lagi-lagi aku dibuat bungkam. Sejujurnya, aku tidak pandai bersilat lidah, aku selalu kalah dalam hal apa pun, termasuk beradu argumen semacam ini. Dan, ya, aku benci mengakuinya.

Seharusnya aku tidak bicara dengan pemuda ini, benar-bebar buang waktu. Padahal yang kubutuhkan hanyalah melompat dan membiarkan semuanya melayang, meski aku tahu ada rasa sakit yang harus kutanggung sebelum melupakan semuanya.

Tapi aku tidak bisa. Keputusanku semakin goyah dengan hadirnya pemuda ini. Dia hanya menawarkan sarapan, tapi aku merasa aku butuh sarapan-sarapan lain di hari berikutnya.

Namun apalah guna sarapan jika tujuan hidup pun aku tak punya?

Satu langkah kecil kuambil untuk maju mendekat, menjauh dari pinggir gedung. Tangan bergerak untuk meraih bungkusan cokelat yang ditawarkan pemuda ini padaku.

Isinya pie apel dan sandwich. Persis seperti menu makanan terakhir yang aku makan sebelum kejadian itu terjadi dan dia...

Sialnya, aku menangis. Mungkin saja air mata ini terselip ke dalam bungkus makanan, tapi aku tidak peduli. Setelah sekian lama rasa sesak ini keluar begitu saja.

Ini konyol. Aku benar-benar berubah menjadi sosok yang memalukan. Sudah tertangkap basah ingin bunuh diri, kini menangis kuat-kuat.

Kendati tertawa atau bahkan mendokumentasikan kekonyolanku (manusia zaman sekarang begitu, kan?), pemuda ini justru tersenyum. Senyumnya begitu lembut meski bibirnya terlihat agak pucat.

"Butuh pelukan?" tanyanya. Namun sebelum sempat merespon, tangannya sudah lebih dulu merengkuhku, menyalurkan rasa hangat hebat yang semakin menyesakkan dada.

"Aku tidak akan bertanya. Tapi kalau mau, kau bisa cerita padaku. Kurasa sarapanmu itu kurang. Aku juga ingin makan lagi sekarang."

Dan untuk pertama kalinya aku tahu, sarapan kecil dan pelukan bisa menghalangi niat buruk.

Sama seperti sarapan kecil yang membuat seseorang merenggang nyawa dengan mudahnya. Nyawa sahabatku sendiri. []

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Oct 20, 2018 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Butterfly DaysWhere stories live. Discover now