Ah, sudahlah. Semoga saja ibu mengira aku masih di rumah Tina.

Setengah jam berlalu.

Hujan masih deras dan petir masih rajin memamerkan kuasanya.

Aku mulai iseng mengisi waktu dengan mengepang sulur-sulur beringin yang menjuntai.

"Hem..." Aku tersenyum sendiri setelah beberapa simpul kepang terbentuk. Mirip kepang rambut anak bule, kecoklatan.

Tiba-tiba angin semilir bertiup ke arahku. Kepang-kepang itu bergoyang-goyang ceria.

Aku tersenyum sendiri.

Waktu berlalu dan suara badai di luar mulai menjauh, tapi aku masih asyik dalam naungan beringin.

Buah-buah merah beringin yang mungil kusisipkan di sela-sela kepang sulur.

Ha ! Cantiknya....

Seakan menyetujui, kepang-kepang itu bergerak pelan tertiup angin.

Kutambah hiasan kepang itu dengan daun-daun hijau dan kuning. Aku tertawa. "Ya. Cantik!"

Aku merasa pohon ini suka dengan apa yang kulakukan. Ya suka. Aneh. Tapi aku juga senang. Beringin yang ramah.

Satu jam kemudian badai benar-benar berhenti. Aku jadi berat meninggalkan tempat sejuk ini.

Kusibak tirai sulur. Sisa mendung masih menggantung. Tapi hujan, kilat, dan petir telah lenyap.

Kudorong motorku menjauhi pohon beringin itu.

Dadah... Entah mengapa aku ingin melambaikan tangan pada beringin ramah itu. Seperti berpisah pada teman baru.

Angin tiba-tiba bertiup.

Hei, lihat ! Si beringin bergoyang dahannya seperti membalas lambaianku.

Hahaha... Lucu....

Sampai di jalan kuhidupkan motorku. Hah. Menyala dengan mudah.

Sekali lagi kulambaikan tangan pada beringin yang menurut perasaanku balas tersenyum.

Untung tidak ada yang lewat. Bisa dianggap sinting aku!

Di tengah jalan desa yang kulalui ada keramaian.

Penduduk berkerumun sambil membawa alat potong seadanya.

Aku tertegun melihat pemandangan di depanku.

Banyak pohon peneduh di pinggir jalan yang tumbang ke tengah jalan. Pohon-pohon besar itu pasti umurnya sudah puluhan tahun menilik besarnya.

Beberapa penduduk mengarahkan aku untuk lewat di halaman rumah penduduk karena jalan masih penuh pohon tumbang yang menghalangi.

Seorang ibu setengah baya menghentikan aku. Ia sedang berkumpul dengan ibu-ibu lainnya menyiapkan minuman dan gorengan untuk bapak-bapak yang sedang bekerja.

"Adik dari mana ?"

"Dari kampung sebelah, Bu."

"Aduh, untung saja kamu tidak lewat pas badai tadi. Wah, bisa lain ceritanya. Bisa tertimpa pohon...."

Seorang ibu lain urun bicara. "Iya, Dik. Entah kenapa seharian ini jalan sepi. Baru Adik yang lewat. Seperti ada firasat kalau pohon-pohon itu bakal roboh."

Aku teringat pada beringin itu.

"Eh, sebenarnya tadi saya mau jalan terus pas mulai badai, Bu. Tapi karena motor saya mendadak macet, saya berteduh di pohon beringin besar di tengah padang rumput itu."

Para wanita itu langsung menatapku heran.

"Beringin, Dik ?"

"Iya, Bu. Satu-satunya beringin di padang itu. Yang banyak sulurnya."

Mereka semakin heran dan mulai berbisik-bisik. Lalu salah seorang dari mereka angkat bicara.

"Dari kampung sebelah ke kampung ini hanya ada padang rumput dan sedikit kebun sayur. Tidak ada satupun pohon. Apalagi beringin besar."

"Kalau saja Adik salah lihat," kata ibu yang pertama menanyaiku.

"Tidak kok, Bu. Saya lumayan lama berteduh di bawahnya," aku berkeras.

Seorang ibu tua berkata. "Saya dari lahir berada di kampung ini. Nak, tidak ada satupun beringin di padang itu."

Aku mulai bingung dengan komentar-komentar mereka.

Kuputar balik motorku setelah pamit pada ibu-ibu yang menatapku dengan aneh.

Aku agak ngebut. Penasaran.

Tepat di tengah padang rumput dimana motorku tadi mogok, aku berhenti.

Seluas mata memandang, hanya ada semak, rumput, dan sepetak kebun sayur di dekat desa.

Tidak ada beringin.

Tidak ada beringin

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Haiiii.....

Deningcaya punya kumpulan cerita baru.

Gak seram-seram amat kan ?

Thank you.

Not So Scary Stories Donde viven las historias. Descúbrelo ahora