Chapter 2 - Tragedi

Start from the beginning
                                    

Sangguni menghela nafas, "Baiklah. Aku akan mengantarmu besok."

"Kau akan mengantarku?"

"Iya. Dengan kondisimu yang seperti itu, kau pasti tidak akan kuat berjalan sendiri. Lagipula kalau aku tidak menunjukan jalan, kau mungkin akan tersesat dan tidak bisa menemukan jalan keluar dari hutan ini."

"Jadi... rumahmu ini masih ada di dalam hutan?"

Sangguni hanya mengangguk sebagai jawaban. Baru kali ini dirinya berbicara banyak dengan orang lain.

"Bagaimana dengan keluargamu? Kau tinggal dengan siapa di sini?" Nirva sebelumnya tidak pernah perduli dengan kehidupan seseorang kalau tidak berkaitan dengan bisnis. Namun entah kenapa, ia merasa sangat penasaran tentang diri Sangguni. Nirva merasa kalau gadis cantik itu memiliki aura yang sangat misterius.

"Aku seorang yatim piatu dan hanya tinggal sendirian di sini," Sangguni menjawab dengan santai seolah itu bukanlah masalah besar.

Nirva tercengang. Gadis muda ini tinggal di dalam hutan sendirian? Bagaimana bisa di zaman modern hal seperti ini masih terjadi? Nirva menatap iba pada Sangguni, "Ikutlah bersamaku ke kota. Kau bisa tinggal di rumahku," Sangguni telah menyelamatkan nyawanya, terlebih nyawa anaknya, jadi Nirva ingin membalas budi dengan memberikan kehidupan yang lebih baik untuk gadis cantik yang telah menolongnya itu.

"Apa?" kini giliran Sangguni yang tercengang dengan perkataan Nirva.

Nirva tahu kalau tawarannya mungkin terdengar gila apalagi mereka baru saja bertemu. Bagaimana bisa seorang gadis langsung mempercayai pria yang baru saja di temuinya kan? Dan bahkan pria itu langsung mengajak si gadis untuk tinggal di rumahnya. Mungkin saja sangguni mengira kalau dirinya mempunyai niat buruk, "Jangan salah sangka. Aku bukan orang jahat. Aku hanya ingin membalas budi padamu walaupun tidak seberapa."

Sangguni terkekeh melihat Nirva yang panik dengan pemikirannya sendiri. Sekalipun Nirva berniat buruk padanya, pria tampan itu tidak akan bisa menyakitinya. Dia berkali-kali lipat jauh lebih kuat dari Nirva ataupun manusia lainnya.
Sangguni memikirkan tawaran Nirva. Kehidupannya di gunung yang sudah berlangsung lama memang sudah sangat membosankan, mungkin saja kalau ia ikut dengan Nirva bisa menghiburnya dengan suasana yang baru. Sangguni mengangguk, "Baiklah."

"Apa?" Nirva masih belum percaya dengan jawaban Sangguni yang ia dengar.

"Baiklah. Aku akan ikut denganmu."

Nirva kembali tercengan. Secepat itu kah gadis ini memutuskan untuk ikut dengannya tanpa pikir panjang? Nirva yakin Sangguni bukan jenis wanita matrealistis. Sangguni benar-benar unik dan berbeda.

***

Seperti yang Sangguni katakan, keesokan paginya gadis cantik itu pergi dengan Nirva, dan bukan hanya sekedar mengantar tetapi ikut pulang ke rumah pria tampan itu.

Nirva merasa sedikit aneh karena Sangguni tidak membawa apa pun. Gadis itu bilang ia tidak punya barang berharga apa pun untuk dibawa. Kalau masalah pakaian dan kebutuhan lainnya, Nirva tidak masalah kalau Sangguni tidak membawa satu pun karen dia memang berniat menyiapkan semuanya untuk gadis itu kelak setelah mereka tiba di rumah.

Tanpa Nirva ketahui atau sadari sedikit pun, ketika ia dan Sangguni pergi, mereka keluar dari sebuah gua bukannya sebuah rumah seperti dalam pengelihatan Nirva. Sangguni sengaja menggunakan kekuatannya untuk memanipulasi pengelihatan pria tampan itu. Sangguni memang tinggal di sebuah gua bukannya rumah.

Nirva berjalan tertatih. Sangguni menawarkan diri untuk memapahnya tapi Nirva menolak. Gadis itu sudah mau repot-repot menggendong anaknya jadi tidak mungkin Nirva menambah bebannya lagi.

"Boleh aku bertanya?" Sangguni membuka pembicaraan setelah cukup lama mereka berjalan dalam diam.

"Silakan. Tanyakan apa pun yang ingin kau tanyakan."

"Kenapa manik matamu berwarna hijau?"

Nirva terkekeh. Ia tidak menyangka kalau Sangguni akan menanyakan pertanyaan sepolos itu, "Ini karena aku blasteran. Ibuku orang Indonesia dan ayahku adalah orang Inggris. Warna manik mata ini aku dapatkan dari ayahku."

"Blasteran? Inggris?" Sangguni mengerutkan keningnya tidak mengerti.

Nirva tersenyum maklum. Tentu saja banyak hal yang tidak diketahui gadis cantik itu karena selama ini dia tinggal di dalam hutan sendirian, bisa berbicara normal saja sudah suatu hal yang luar biasa, "Blasteran itu artinya campuran, sedangkan Inggris itu adalah negara asing di luar Indonesia," Nirva menjelaskan semuanya pada Sangguni dengan sederhana.

Blasteran adalah campuran? Berarti dirinya juga seorang blasteran seperti Nirva walaupun sedikit berbeda. Sangguni mengangguk-anggukan kepalanya mengerti, "Jadi ayahmu berasal dari belahan bumi yang lain?"

"Kurang lebih begitu," Nirva lebih memperhatikan jalannya karena tadi ia nyaris terjatuh karena tersandung akar pohon.

"Kau pernah ke Inggris?"

"Ya, pernah. Beberapa kali."

Bayi kecil dalam gendongannya bergumam. Sangguni menatap wajah kecilnya yang lucu dan lugu, "Mata anakmu sama dengan milikmu."

"Iya. Istriku sangat senang saat mengetahuinya," Nirva tersenyum, namun senyumnya terlihat sedih.

Sangguni tentu bisa melihat kesedihan pria tampan itu hanya lewat ekspresi wajahnya tanpa harus repot-repot menyelami isi hatinya, "Siapa nama anak ini?"

"Damian Arjun Alifiano. Aku dan istriku biasa memanggilnya Dami. Kau tahu? Biasanya Dami akan rewel dan bahkan menangis saat digendong oleh orang lain selain aku dan istriku, tetapi dia begitu tenang saat berada dalam gendonganmu. Itu luar biasa," Nirva menatap kagum pada Sangguni dan Dami.

"Benarkah? Wah... memang luar biasa," Sangguni tersenyum dan Dami juga ikut tersenyum dengan lucunya. Mengetahui hal yang baru saja Nirva bicarakan tentang bayi dalam gendongannya dan fakta bahwa jiwa seorang bayi masihlah sangat murni jadi mereka bisa melihat hal-hal yang tidak bisa dilihat oleh orang yang sudah dewasa, contohnya seperti makhluk halus atau bahkan sudah dapat dipastikan bahwa seorang bayi bisa melihat wujud Sangguni yang lain. Tetapi bayi ini tidak menangis saat melihat dirinya yang berekor ular dengan taring di mulutnya dan beberapa sisik yang tersebar di tubuhnya, padahal Sangguni tidak menggunakan kekuatannya untuk mempengaruhi bayi dalam gendongannya.

"Hmm... maukah kau bekerja sebagai babysitter Dami?" Nirva bertanya ragu-ragu, takut kalau Sangguni akan tersinggung dengan tawarannya.

"Apa itu babysitter?" Sangguni memiringkan kepalanya tidak mengerti. Sedangkan Dami dalam gendongannya sedang asyik memainkan rambut hitam dan panjang milik gadis cantik itu.

Nirva tersenyum. Ia lupa kalau sangguni tidak mengerti bahasa yang terlalu rumit atau bahasa asing, "Babysitter itu artinya pengasuh bayi. Apakah Sangguni mau menjadi pengasuh Dami? Aku akan memberikan gaji... upah yang besar. Di samping itu, dengan kau menjadi pengasuh Dami itu akan menjadikan alasan yang kuat ketika orang-orang menanyakan tentang keberadaanmu di rumahku."

"Tapi aku tidak tahu caranya mengurus bayi."

"Aku akan mengajarimu," Nirva memang bisa mengurus bayi karena istrinya selalu mengajarkan padanya cara mengurus Dami. Ia masih ingat dengan jelas ketika Maura --istri Nirva-- mengatakan, "Kalau ayah bisa, kan nantinya ayah bisa mengurus Dami kalau bunda sedang tidak ada," dan sekarang istrinya itu sudah benar-benar tidak ada lagi di dunia ini.

Tanpa terasa akhirnya mereka sudah keluar dari hutan. Di pinggiran hutan itu lah Nirva sekeluarga mengalami kecelakaan.
Nirva melihat ke sekeliling, mobilnya sudah tidak  ada di sana. Kemungkinan besar pihak berwajib sudah mengevakuasinya.

Nirva mengusap wajahnya kasar karena kalut. Ia tidak boleh berlama-lama di sini, dirinya harus segera mencari keberadan jenazah Maura.  Ketika ia hendak mencari tumpangan, sebuah mobil polisi menghampirinya.

Polisi itu bergegas keluar dari dalam mobil dan segera menghampiri Nirva, "Apa anda saudara Nirva Arjun Alifiano?"

SangguniWhere stories live. Discover now