Prologue

2.6K 374 104
                                    

Hari ke-5. Kurasa ini hari yang tepat untuk mati.

Beberapa orang mungkin akan bilang ini keputusan yang bodoh, keputusan yang idiot, dan hanya pengecut yang melakukannya.

Dan, ya, oke. Aku pengecut.

Begitu berdiri di pinggir, menatap ke bawahㅡke arah trotoar, aku sempat merinding sesaat. Melompat dari atap gedung 8 lantai ternyata tak semudah yang dibayangkan.

Tapi aku tidak mungkin mundur. Tidak lagi.

Kuhirup udara sebanyak yang kubisa, tak apa rakus untuk sesuatu yang gratis, mengingat ini akan jadi terakhir kalinya aku menghirup oksigen. Angin menerpa rambutku, dan sesaat aku merasa nyaman. Andai saja berada di dunia bisa senyaman ini selamanya.

Tapi, tentu saja, tak ada hal yang bertahan selamanya.

Aku sudah siap terjun.

Tadinya akan terjun.

Seharusnya segera terjun.

Hanya saja sebuah suara terdengar, pintu menuju ke atap terbuka, dan seorang laki-laki dengan mantel dan beanie cokelat melangkah mendekat.

Dia tidak berteriak, tidak juga mencoba menahanku, padahal jelas sekali aku kelihatan mau bunuh diri.

Kendati melakukan semua yang biasanya dilakukan orang pada umumnya, dia justru menyodorkan bungkusan dari kertas cokelat dengan logo restoran cepat saji.

"Sebelum bunuh diri, coba isi dulu perutmu," katanya, tenang dan tersenyum kecil. "Paling tidak kau mendapatkan sarapan terakhirmu." []

Butterfly DaysWhere stories live. Discover now