3

346 18 2
                                    

Keesokan harinya, Riana berdiri di depan gerbang rumahnya. Baru pukul 09.50, tapi ia yakin Dean akan muncul tak lama lagi. Rencananya, Riana akan terus bersama dengan Dean sepanjang hari, kalau bisa sampai malam. Ini hari terakhirnya, besok Tyas akan muncul dan mengambil kebahagiaannya.

Benar saja, tak berselang lama, sebuah mobil berwarna putih terlihat di belokan jalan. Tentu saja Riana sudah hapal mobil siapa itu. Tanpa sadar, sudut bibir berkedut dan tak mampu menyembunyikan senyuman.

"Neng, orang gila ya? Kok senyum-senyum sendiri di depan rumah orang?" suara Dean terdengar saat laki-laki itu membuka pintu mobilnya.

Bukannya marah, Riana malah tertawa kecil dan cepat-cepat masuk ke dalam mobil dengan pintu yang ia banting dengan keras.

"Cepetan jalan aja. Keburu panas," setelah memasang seatbelt nya, Riana duduk dengan gaya acuhnya sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.

"Baiklah, tuan putri."

Tanpa banyak bicara lagi, Dean melajukan mobilnya untuk menuju tempat yang ditunjukkan Riana. Selama di perjalanan, baik Dean maupun Riana hanya bungkam, di dalam mobil itu hanya terdengar suara musik yang disetel Dean sedari tadi.

"Hm, Al. Lo udah tau kalo Tyas bakal pulang besok senin?" tanya Riana dengan hati-hati.

Dan dugaan Riana benar, Dean tersenyum sumringah dan mengangguk, "Iya tau. Dari seminggu yang lalu dia terus neror gue biar jemput dia di bandara. Lo ikut ya besok?"

"Eh? Ya... liat aja besok. Semoga gue nggak ada acara," ucap Riana yang diakhirinya dengan senyum kecut.

Tidak ada di benaknya jika Dean akan mengajaknya untuk menjemput Tyas. Tidak. Dia tidak akan mengganggu mereka berdua lagi. Ini adalah hari terakhirnya. Besok, dia harus mencari alasan untuk tidak ikut menjemput Tyas.

Sebenernya gue masih mau lama-lama sama lo, Al. Tapi gue nggak mau mentingin perasaan gue. Gue nggak mau orang lain merasa tersakiti karena gue.

Riana terus menatap Dean yang tengah sibuk memperhatikan jalanan di depannya. Dengan masih banyak pikiran yang menganggu otaknya, Riana memilih diam dan membiarkan keheningan hadir diantara mereka.

"Ri? Kok jadi diem aja?" Dean mengibaskan tangannya di depan wajah Riana yang menunduk diam.

Riana mendongak dan memperhatikan sekitar. Mobil Dean berhenti di lampu merah, "Hah? Eh? Ya... mau ngapain lagi?"

"Iya sih. Hm, kayaknya bentar lagi macet deh. Weekend soalnya."

Riana kembali memperhatikan di depan. Memang lalu lintas terlihat ramai. Selain memang hari minggu, pasti karena orang-orang memilih arena taman bermain sebagai tempat menghabiskan waktu bersama keluarganya. Sama halnya seperti Dean dan Riana.

Riana dan Dean sama-sama menengok saat ponsel Dean bergetar, "Ri, tolongin gue dong. Angkatin telponnya."

Riana mengulurkan tangannya ke arah saku kaos Dean dan mengambil ponsel milik laki-laki itu. Tyas. Nama yang tertera di layarnya.

"Tyas nih. Lo aja yang jawab. Gue pegangin," Riana menerima panggilan itu dan meloudspeaker agar Dean dapat mendengar suara Tyas.

"Halo, Yas. Kenapa?"

"Halo, Yan. Kamu lagi sibuk?"

"Eng... enggak sih. Kenapa?" Dean melirik tak enak ke arah Riana yang terlihat acuh. Padahal, tanpa sepengetahuan Dean, gadis itu memasang telinga baik-baik.

"Ya udah. Aku mau ngobrol aja. Mumpung ada waktu."

Dean terdiam dan menatap Riana. Kini gadis itu menatap balik ke arah Dean dengan terheran-heran. Setelah mengerti, Riana meengisyaratkan agar Dean menerima ajakan Tyas untuk mengobrol via telepon.

Jodoh Titipan (short story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang