Demi Airi - oleh: Vina Sri

Start from the beginning
                                    

Aku tertawa kecil. Tiba-tiba teringat ibuku, dia juga suka mengajak bicara tanam-tanaman di kebun kecil kami, bertanya kenapa buahnya sedikit, kenapa telat berbunga, sakitkah saat kawanan ulat menyerang atau meminta mereka tumbuh subur dan bahagia.

"Ibuku juga suka mengajak tanaman bicara," ujarku sambil tersenyum, "Jika dia bertemu Airi, sepertinya mereka akan cepat akrab."

Mata Bi Nah melebar, "Oh ya?" tanyanya takjub. Tapi kemudian mata itu kembali meredup, "Sayangnya, sekarang tidak bisa. Tak ada yang bisa mendekati Airi setelah peristiwa itu," suaranya kembali bergetar.

Aku beringsut mendekati Bi Nah, memeluk bahunya dan menggenggam tangannya, meyakinkan Bi Nah, aku bisa diajak berbagi duka.

"Kata orang, Airi yang salah. Kenapa ia berjalan sendirian? Itu kan mengundang laki-laki untuk berbuat jahat. Begitu kata mereka," Bi Nah terisak, "Padahal, Airi hanya berjalan biasa sepulang mengajar. Dia tidak menggoda siapa-siapa. Pakaiannya sopan," isak Bi Nah semakin kencang. Bahunya terguncang.

Mataku berkabut. Mati-matian kutahan agar tidak ada air mata yang tumpah. Ah! Selalu saja. Selalu perempuan yang disalahkan. Kenapa tidak bisa menjaga diri? Kenapa keluar rumah? Kenapa begini, kenapa begitu? Sekarang tanggung sendiri akibatnya!

Ada rasa sakit di ulu hatiku. Apalagi saat aku sadar kalimat penghakiman itu keluar dari mulut sesama perempuan. Ah! Ingin rasanya aku membungkam semua mulut usil itu. Tahu apa mereka tentang siapa Airi?

Airi yang kukenal adalah gadis lembut, sopan dan cerdas. Dia bisa saja pergi ke kota besar dan mendapat pekerjaan yang lebih baik. Tapi tidak, dia memilih tetap di sini, di desanya. Airi memilih untuk mengabdi di sekolah kampung, sebagai guru bantu dengan gaji tak seberapa. Tak sampai di situ, dia masih meluangkan waktu untuk membantu murid-muridnya yang kesulitan belajar. Tanpa bayaran.

Bukan salah Airi jika saat itu dia mengambil jalan ke tepi desa. Hari masih belum terlalu sore, matahari masih bersinar terang. Airi hanya mampir sebentar mengunjungi murid yang sedang sakit. Sepulang dari sana, Airi harus lewat jalan itu. Jalan di mana pemuda-pemuda berandal sering berkumpul.

Tak ada yang tahu cerita sebenarnya. Airi tidak bisa ditanya sejak ditemukan di semak-semak oleh seorang petani. Petani itulah yang membawanya pulang dan memanggil perangkat desa, melaporkan kejadian tersebut hingga gegerlah seluruh kampung.

Polisi bertindak cepat. Tak butuh waktu lama hingga para pemuda itu tertangkap. Tapi cerita yang mengalir dari mulut mereka membuat Airi dan keluarganya semakin terpuruk.

"Dia yang mulai duluan. Berjalan tidak sopan di depan kami, menggoda kami," tuduh seorang pemuda. Aku mengenalnya sebagai salah satu putra pejabat desa. Ayahnya mempunyai harta dan pengaruh. Cukup untuk membuat omongannya, sengawur apapun, dianggap kebenaran.

Lalu kasusnya berakhir begitu saja. Meninggalkan Airi dengan lukanya. Sebagai permintaan maaf, ayah sang pemuda bersedia menanggung seluruh biaya perawatan Airi. Dokter dan psikolog didatangkan untuk merawat Airi.

Tapi tak lama.

Setelah satu minggu, sang pejabat desa menganggap bahwa Airi tak bisa disembuhkan. Sang pejabat pun mengusir dokter dan psikolog itu dari kampung mereka. Sebanyak apapun argumen dari sang dokter untuk meyakinkan bahwa Airi bisa kembali seperti semula, semua menguap di hadapan telunjuk sang pejabat.

Tapi dokter dan koleganya tidak menyerah, meski diam-diam, mereka terkadang datang untuk memeriksa dan merawat Airi. Meski hingga berjalan satu bulan, tak ada kemajuan yang dicapai.

"Kami tidak akan menyerah," janji sang dokter itu pada Bi Nah, yang hanya dibalas anggukan singkat.

"Kemarin, Ibu Dokter datang lagi," Bi Nah berusaha menata suaranya, menyembunyikan isak yang sesekali datang, "Katanya, lebih baik Airi dipindahkan dari kampung ini. Dia sudah menyiapkan tempat untuk Airi. Di sana, Airi akan dirawat 24 jam penuh."

THE VOICE OF WOMEN (END)Where stories live. Discover now