Langit Di Luar Jendela

32 2 0
                                    

Chapter 1

Matahari nampak belum terlalu tinggi. Tapi Arlan sudah melakukan beberapa pekerjaan seperti membereskan tempat tidur, mencuci, bahkan memasak. Hari itu adalah hari yang paling ia nantikan, hingga malam tadi ia menjadi susah untuk tertidur.

Setelah semua persiapan sekolah telah disiapkan, Arlan akan segera pergi menuju tempat yang mungkin akan membayar keringat dingin yang terus membayanginya karena menantikan rasa bahagia.

Sebelum Arlan akan membuka pintu untuk keluar rumah, ia berhenti dan menoleh ke arah belakang untuk melihat seorang wanita paruh baya berambut hitam panjang dan berkulit putih yang hampir nampak pucat. Wanita itu tengah duduk di temapat tidur untuk satu orang. Pandangannya nampak terarah pada satu titik, langit di luar jendela.

"Aku berangkat, Mama"

*****

Seorang pria melangkahkan kakinya sangat pelan dengan tatapan yang terus mengarah ke berbagai sudut taman, bangunan, bahkan siswa yang mungkin tidak akan ada yang ia kenal.

Pria itu seperti mengabaikan beberapa pandangan yang seakan jijik, heran dan beberapa tawa kecil karena tingkahnya itu.

Setelah puas dengan melihat-lihat, pandangannya kini seperti terfokus untuk mencari seseorang. Seseorang yang memang tujuan awalnya untuk masuk ke sekolah yang paling diminati dari seluruh daerah Tokyo. Namun, terlalu banyak siswa yang menghalangi pandangannya itu. Ia pikir menemukan seseorang yang ia idolakan akan sangat mudah karena tidak ada siswa yang ia kenal sebelumnya. Bagaikan mencari bulan dari ribuan bintang. Terlebih orang yang ia cari adalah Idola yang sudah terkenal sejak ia duduk di sekolah dasar.

Langkah pria itu terhenti karena seseorang menepuk pundaknya dari belakang.

"Hei, murid baru?"

Pria berambut pirang yang sama dengannya menyapa dengan memberikan senyum ramah.

"Hem. Namaku Arlan. Salam kenal."

Arlan membalas senyum ramah itu juga dengan tersenyum ramah.

Pria yang menepuk pundak Arlan itu seakan terkujut.

"Ow! Bule?"

Arlan sedikit tersenyum sebelum wajahnya nampak berpikir.

"Hemm, bagaimana, ya? Bisa dibilang bukan, tapi juga bisa dibilang begitu."

"Maksudmu?"

"Yang kutahu, aku lahir di Jepang. Dan yang ku ingat, aku belum pernah pergi ku luar negri."

Pria yang belum menyebutkan namanya itu juga terlihat sedikit kebingungan.

"Imigrasi, kah?"

"Entahlah. Yang kutahu, aku ada di Jepang."

Setelah saling melempar sedikit tawa kecil yang terkesan canggung, mereka berdua kembali bersikap seperti biasa.

"Namaku Hajime Iruka. Panggil mana saja yang membuatmu nyaman."

"Baiklah. Hajime-san"

"Ngomong-ngomong, nama belakangmu apa?"

"Arlan 'desu'."

Hajime sedikit terheran dan terdiam. Dia tidak terlalu mengerti dengan perkataan Arlan. Meski dia yakin bahwa lawan bicaranya itu tidak salah menyebutkan nama karena senyumannya yang terlihat tulus dan murni.

"Arlan Arlan-san?"

"Arlan 'desu'" (Hanya Arlan)

Hajime hanya memberi senyum agar suasana tidak terasa canggung. Hajime memang sudah sering bertemu dengan orang asing, tapi kebanyakan dari mereka tetap memiliki nama belakang. Meskipun Hajime tahu bahwa kebanyakan dari negara lain tidak mempunyai atau memakai nama marga dari identitas sebuah keluarga. Dan yang Hajime lihat, Arlan termasuk pada orang yang tidak mempersalahkan sebuah panggilan. Di balik rasa syukurnya, Hajime juga merasa kasihan pada Arlan. Hajime yakin bahwa Arlan tidak pernah dan tidak akan merasakan sensasi bahagia dari panggilan nama depan dari lawan jenis.

"Kau pria yang bersemngat sekali. Hidupmu pasti terus dikelilingi warna pelangi, yah?"

"Apa itu kiasan untuk hidup bahagia?"

"Hem."

"Tentu saja. Aku adalah pria yang paling bahagia karena hari ini..."

Di tengah pembicaraan mereka, Hajime seperti melihat beberapa orang yang memanggilnya hingga Arlan berhenti meneruskan ucapannya.

"Hehh... dan kehidupanku yang kelabu masih berlanjut. Kalau begitu sampai jumpa lagi, Arlan-san!"

Arlan yakin bahwa semua orang memiliki masalahnya sendiri. Dan sepertinya Hajime juga begitu. Dia nampak murung dan pasrah sebelum pergi menghampiri tiga pria yang memiliki ekspresi wajah masing-masing. Tersenyum, cuek, dan yang paling Arlan ingat adalah orang yang berada di tengah. Pria yang mungkin pemimpin dari dua pria di belakangnya, pria berwajah dingin.

*****

Arlan berjalan di koridor dengan berkawalkan guru yang siap membawanya ke kelas baru untuknya. Sepanjang perjalanan itu, Arlan mengabaikan penjelasan dari guru yang membimbing langakahnya itu. Pandangannya terus  mencari-cari kesetiap kelas yang ia lalui. Berharap melihat sang idola yang ia yakin juga seumuran dengannya. Jantungnya seakan berdegup kencang. Dan hal itu bukan karena ia akan menjadi pusat perhatian sementara di kelas barunya. Tapi khayalan tinggi jikalau sang idola itu akan sekelas dengannya, karena sepanjang perjalanan pendek itu ia tidak menemukan sang idola di setiap kelas yang ia lalui.

Saat sang guru menggeser pintu masuk ke kelas, otomatis suara gaduh para siswa di kelas itu langsung senyap.

"Semuanya duduk. Hari ini kita kedatangan murid baru."

Sang guru menuju ke meja khusus untuk guru di depan kelas dan mengarahkan Arlan untuk sedikit maju dan memperkenalkan dirinya dengan isyarat tangan kanan.

"Silahkan perkenalkan namamu."

"Terimakasih, bu."

Arlan melangkahkan kakinya dan sedikit terdiam. Dia memperhatikan seluruh wajah siswa yang berada di kelas itu. Namun, tidak ada wajah yang ia harapkan.

"Emm... perkenalkan nama saya Arlan. Hanya Arlan. Saya lahir di jepang. Ibu saya berasal dari Indonesia. Dan Emm... sekian."

Seperti yang Arlan bayangkan. Beberapa murid tertawa kecil dan beberapa dari mereka juga cukup kaget dengan latar belakangnya yang cukup aneh.

"Bilkah, Emm... Arlan-san. Silahkan duduk di bangku kosong di belakang."

Arlan sudah biasa bertemu dengan beberapa orang yang bingung untuk menyebut nama panggilannya. Dia hanya berharap dengan tidak memiliki nama belakang, tidak membuatnya dijauhi banyak orang.

Arlan bejalan menuju ke bangku kosong. Di sana ada dua bangku kosong. Dan keduanya berdekatan. Namun, yang paling ingin Arlan pilih adalah bangku kosong di dekat jendela. Arlan berharap bisa melihat sang idola pulang atau datang melalui halaman depan sekolah dari tempat duduknya itu.

Setelah duduk di bangku belakang dekat jendela, Arlan sedikit melihat ke arah luar jendela. Cuaca cerah dengan bunga sakura yang sedang bermekaran. Musim di mana semua orang merasa bahagia dengan suasana hati yang menyejukkan. Meski suasana Arlan ditelan kecewa karena tidak bisa melihat sang idola, tapi mendapat tempat duduk yang sangat diinginkan banyak siswa menjadi obat tersendiri baginya. Terlebih ruang kelasnya berada di lantai dua. Melihat bunga sakura, langit berwarna biru dengan berhiaskan awan putih yang tidak terlalu tebal dan melihat beberapa semangat sisiwa yang sedang berolahraga bisa membuatnya lupa akan kekecewaannya. Lagi pula, itu adalaha hari pertamanya. Masih ada hari-hari selajutnya.

Saat Arlan berusaha menghibur diri dengan melihat pemandangan indah, teguran dari seorang siswi membuatnya menghentikan kegiatannya itu.

"Permisi, itu adalah tempat dudukku."

Wajah cantik yang ia kenal. Denagan rambut hitam legam dan seakan bercahaya karena bermandikan sinar matahari yang masuk melalui celah jendela. Tubuhnya yang seakan terlihat tinggi karena siswi itu berdiri menghadap Arlan yang masih duduk membantu di bangkunya.

"Sena-chan?"

Dan sang idola yang selalu ia impikan berada di depannya. Arlan yakin bahwa sang idola itu sekelas dengannya. Dan Arlan yakin bahwa sang idola akan menjadi tetangga dari tempat duduk belajarnya.

Bersambung...

Anata Dake (Hanya Kamu)Where stories live. Discover now