17. No Matter Of Us

12.3K 665 1
                                    

Lana sudah mulai masuk kerja kembali setelah kemarin ia tak masuk kerja karena tubuhnya yang masih sakit pasca malam panasnya bersama suaminya. Ia mencoba untuk tidak terlihat gugup di depan kakaknya nanti saat ditanya tentang alasan mengapa ia bisa sakit. Ia menaruh tasnya di meja kerjanya dan berjalan menuju ruangan kakaknya. Ia membuka pintu ruangan dan seperti biasa kakaknya sudah stand by di kursi kebesarannya. Ia melangkah dengan gugup. Ia mencoba membenarkan cara berjalannya yang masih terasa tidak nyaman karena rasa sakit di area intimnya masih belum reda.

"Ehm... Kak...." Pascal mengalihkan pandangannya dari layar laptop di depannya pada Lana di hadapannya. Ia meneliti penampilan Lana sejenak.

"Kamu udah sembuh sakitnya?" Lana mengangguk.

"Iya, Kak. Kemarin aku demam dan agak pusing. Mungkin efek kecapekan." jelasnya. Pascal hanya mengangguk. Ia meneliti kembali tubuh adiknya. Lana merasa tak enak dengan tatapan menyelidik kakaknya seolah-olah ia sedang menyembunyikan sesuatu.

"Emmm... Kak, bolehkah aku kembali ke mejaku lagi?" tanyanya untuk menetralkan rasa gugupnya. Pascal mengangguk. Lana segera berbalik dari ruangan Pascal untuk mengerjakan tugasnya kembali di mejanya. Pascal merasa ada yang aneh dengan cara berjalan adiknya. Ia curiga akan sesuatu. Ia hanya mengedikkan bahunya tak peduli karena itu urusan rumah tangga adiknya dengan suaminya. Ia kembali mengalihkan pandangannya pada laptop di depannya dan fokus kembali dengan kegiatannya.

Sementara itu, Akmal sedang berada di ruangan pabrik tempatnya bekerja. Ia sedang mengatur dan mengepak berbagai jenis makanan ringan yang akan dibawanya. Tugasnya adalah mengantar dan mengisi barang-barang produksi pabrik ke toko-toko atau swalayan.

"Gimana Mal rasanya punya istri lagi?" tanya teman di sebelahnya. Akmal menolehkan wajahnya dan tersenyum.

"Enak. Ada yang layanin gue mulai dari bangun tidur sampe tidur lagi." teman Akmal itu tertawa.

"Enak ada yang layanin di ranjang. Tiap malem gak meluk guling lagi. Ada yang lebih empuk untuk dipeluk." timpal teman yang lainnya. Akmal tertawa.

"Eh..., ada jomblo nih di sini. Kasihan, lah." Akmal tertawa terbahak-bahak saat melihat wajah memelas temannya itu.

"Makanya jangan jadi jomblo mulu. Cari cewek dan nikahin biar bisa ditidurin tiap hari." ucap Akmal. Temannya itu hanya mendengus.

"Hai, Mas Akmal?" Akmal menolehkan wajahnya pada gadis muda yang cantik namun masih di bawah istrinya sedang mendekat ke arahnya dengan senyum manisnya. Teman-teman yang lainnya ikut menolehkan wajahnya.

"Si Lia tuh, Mal. Belum tahu dia kayaknya kalau lo udah gak ngeduda lagi." gumam temannya di sebelahnya. Akmal hanya balas tersenyum seadanya saat gadis bernama Lia itu mendekat ke arah mereka.

"Hai juga, Li." Lia tersenyum.

"Lagi sibuk ya, Mas? Aku cuma mau ngajak Mas makan siang nanti. Aku bawain makanan buatan aku sendiri sekalian buat Mas." Akmal tersenyum kaku. Ia tak tahu harus menjawab apa. Ingin menolak, kasihan gadis itu yang sudah bersusah payah membuatkan makanan untuknya, dan pasti ia akan mempermalukannya di depan teman-temannya kalau ia sampai menolaknya. Kalau ia menerima, ia takut dikira memberi harapan kepada gadis itu yang ia tahu sudah menyukainya dan selalu berusaha mendekatinya sejak ia menyandang status dudanya.

"Kamu datang gak Li waktu itu ke nikahannya Akmal?" cetus salah seorang temannya. Lia membulatkan matanya terkejut.

"Mas Akmal nikah...? Kapan?? Kok aku gak tahu?" gadis itu mengalihkan pandangannya pada Akmal yang hanya tersenyum salah tingkah.

"Hampir sebulan yang lalu. Emangnya kamu gak dapet undangannya?" Lia menggeleng.

"Enggak."

"Undangannya aku kolektifin, jadi gak semuanya. Karyawan di sini kan banyak juga." jelas Akmal. Raut wajah gadis itu seketika berubah muram.

The SecondOù les histoires vivent. Découvrez maintenant