BAB 1 : Memasuki Area Putih Abu-Abu

3.6K 275 163
                                    

Percaya atau tidak, aku memang bodoh. Aku menunggumu dalam ketidakpastian mengharapkan seekor kucing bertelur.

****

Pantulan perempuan tercantik sejagad raya terpampang di cermin yang berada di hadapanku. Dengan baju yang kelewat besar dan jilbab yang menutupi kepala hingga dada, aku pangling. Selama ini, aku bersekolah dengan mengepang rambut panjangku yang akan selalu menari di saat aku berlari. Membuat beberapa orang iri melihat itu. Kini, aku harus menutupi bagian yang paling aku sukai. Ini semua karena bapakku. Andai saja ia dimutasi lebih cepat sebelum pendaftaran SMA, aku tidak akan masuk MAN. Tetapi apa daya, nepotisme jauh lebih menjijikkan dibanding mengenakan jilbab ini. Sederhana bak malaikat, bukan?

"Itu, habiskan dulu!" Suara teriakan mamaku memang seperti toa. Tidak mengenal waktu, mau itu pagi hingga malam pun, suaranya tetap mengalahkan suara orkestra acara pernikahan.

Kulihat dari ruang tamu, kak Sadam hanya terkekeh geli melihat ekspresiku yang menahan mual. Aku tidak suka memasukkan makanan apa pun ke dalam mulutku setiap pagi. Apalagi mama selalu berceramah panjang kali lebar jika menyinggung hal tersebut.

"Ma, sudah habis," ucapku.

Kulihat mama menyapu kedua tangannya pada celemek yang ia gunakan, "Yoo, hati-hati ke sekolahnya."

Itu saja yang ia katakan. Sungguh orang tua yang sangat tidak peka. Padahal aku telah mengulurkan telapak tangan kananku untuk diisi dengan beberapa lembar berharga.

"Hei! Kenapa kau tidak pergi?!"

Teriakannya lagi-lagi mengagetkanku dan membuat kak Sadam tertawa terpingkal-pingkal. Mama yang the best!

"Duitlah, Ma!" rengekku sembari menggoyang-goyangkan telapak tanganku ke arahnya.

Mama memang orang yang paling baik, bukannya memberi yang kuminta, ia malah menaruh bekal di dalam ranselku.

"Kau makan ini kalo istirahat, tak usahlah pake duit, nanti abang kau yang antar jemput," ucapnya.

Dari ruang tamu, kak Sadam malah bangkit dan berlari ke arahku dan mama. Ia menggelengkan kepalanya di hadapan kami sembari duduk di kursi makan dengan satu kaki yang terlipat.

"Aku mau jemput 'Doi'-lah, Ma!"

"Doi? Apalah itu? Temannya duit?" tanya Mama. Sumpah, aku bisa gila terlalu lama di tempat ini.

"Bukanlah, Ma. Temannya Duka cita akibat ditinggal kawin pas lagi sayang-sayangnya," jawab kak Sadam yang sungguh dramatis sembari terkekeh pelan.

"Hooh, kalo gitu kau bawalah ntar, kasih kenal sama Mama."

Akhirnya aku bisa tertawa kali ini. Melihat ekspresi kak Sadam yang menjadi memerah. Aku tau persis bagaimana kak Sadam, dia tak akan punya Doi yang benar-benar diajak serius. Karena setahuku, hubungan yang terjalin itu paling lama yah seminggu. Playboy cap karung beras.

****

Gedung tinggi itu menjulang di hadapanku. Dengan gerbang kecil yang mudah tuk dipanjat dan dua satpam menjaga di sana, aku melangkah memasuki area sekolah. Beberapa siswa yang tampilannya sama denganku hanya tersenyum kikuk. Ya, kami sama-sama sedikit kaku menampilkan penampilan kami yang cukup aneh. Dengan topi kerucut, kalung yang dipenuhi permen juga ransel yang terbuat dari kardus yang telah dibuat berwarna-warni. MOS memang momen yang paling memalukan. Dan, hari pertama sekolah selalu membuatku mengingat dia. Dia yang selama ini kutunggu dalam khayal yang sulit kugapai.

Dilla (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now