BAB 10 - Kebenaran

Mulai dari awal
                                    

"Tak usah banyak bicara. Lakukan saja apa yang kau inginkan. Sudah kubilang kami tak bisa membantu menemukannya karena segel yang terpasang di tubuhnya itu."

"Kau bilang kau bisa merasakan keberadaannya waktu itu, karena itu kita dapat menemukan lokasi markas mereka." Alvis masih berharap jika saja Milo bisa merasakan keberadaan Carina barang sedikit.

"Aku memang merasakannya. Tapi setelah penyerangan itu aku tak bisa lagi merasakannya. Hawa keberadaanya tiba-tiba hilang begitu saja seperti di telan Bumi." Milo naik ke atas kasur Alvis dsn bergelung di sana. "Aku yakin seseorang telah sengaja memanipulasi hawa keberadaan Carina dengan kekuatannya."

"Hanya Holder dengan level Master yang bisa melakukan hal seperti itu." Gumam Alvis seraya berdiri dan beranjak pergi.

"Hey! Kau mau kemana?! Tunggu!" Milo berlari mengejar Alvis dengan wujud kucingnya. "Dasar brengsek! Beritahu aku apa yang kau pikirkan!"

Alvis tiba-tiba saja berhenti berjalan dan langsung menoleh ke arah Milo. "Hey!"

"Apa?! Kalau kau tak memberitahuku, aku akan membacanya sendiri dengan kekuatanku!"

Alvis langsung teringat sesuatu saat Milo tadi mengikutinya seraya memaki-makinya, "Kau kucing!"

"Iya! Aku kucing! Kau pikir aku Babi?!" Milo menatap Alvis keheranan, berpikir bahwa laki-laki di depannya itu mulai benar-benar gila.

"Dan kau bisa berbicara dengan hewan!" Lanjutnya dengan wajah berbinar.

"Tentu saja! Lalu?"

"Kau harus ikut aku!" Alvis tiba-tiba saja menggendong Milo dan berlari membawanya.

"Hey! Turunkan aku! Dasar gila! Aku tak sudi di gendong oleh orang sinting sepertimu!"

***

Brak!

"Jiho!" Alvis membuka--lebih tepatnya mendobrak pintu kamar Jiho dan langsung menyerukan namanya.

"Hey! Sialan!" Jiho mengumpat kesal seraya cepat-cepat menutupi daerah intimnya dengan handuk. "Dasar terkutuk kalian! Ketuk pintu dulu sebelum masuk ke kamar orang!"

Alvis menatapnya datar, tak terpengaruh sama sekali dengan pemandangan di depannya. Mungkin kalau orang lain yang masuk, Simon misalnya. Suasana itu menjadi sangat canggung dan senyap. Berbeda dengan Alvis yang tetap memasang ekspresi datar kini menatap Jiho dari atas sampai bawah dengan santainya.

"Kau lihat apa?! Tak usah lihat punya orang kalau kau sendiri punya!" teriaknya kesal lalu buru-buru melilitkan handuk di pinggangnya, kemudian kembali masuk ke kamar mandi untuk memakai pakaiannya.

"Kau pikir kami senang melihat tubuh menjijikanmu itu?!" Teriak Milo saat Jiho telah kembali keluar kamar mandi dengan pakaian lengkapnya.

"Berisik! Dasar kucing!" Jiho menatap Milo kesal, dan kemudian beralih pada Alvis. "Ada apa? Sepertinya kau mau mengatakan sesuatu."

"Kau harus ikut." Ucapnya singkat.

"Ikut? Kemana?" Tanyanya lagi menatap Alvis. Bukannya menjawab laki-laki itu malah melengos pergi dan menyuruh Jiho serta Milo untuk bersiap-siap saat itu juga.

Jiho menatap Milo bingung, "Kita mau ke mana sih?"

"Kalau kau bertanya padaku, lalu aku bertanya pada siapa?" Milo menatap Jiho dengan pandangan aneh.

"Mungkin saja kau tahu. Kau kan makhluk lancang yang suka membaca pikiran dan mengetahui privasi orang." Sindir Jiho dengan nada ketus, ia masih kesal pada kucing itu karena seringkali membaca pikirannya tanpa izin darinya.

***

"Aku ingin sekali ke pusat kota." Gumam Carina seraya memandang pemandangan di hadapannya. Itu adalah tempat favoritnya. Sebuah kursi panjang yang berada tepat di bawah pohon besar yang ada di halaman rumah kayu kecil yang iya tinggali bersama yang lainnya. Rumah ini ada di bagian pinggir kota, dan jauh dari keramaian. Hanya ada beberapa rumah di daerah ini, sisanya adalah pepohonan, ladang, dan kebun. Tak heran jika tiap hari mereka selalu menghirup udara bersih dan segar.

"Aku ingin ke pusat kota." Gumam Carina seraya menatap kosong pada hamparan pemandangan asri di tempat favoritnya. Sebuah bangku panjang di bawah sebuah pohon yang ada di depan rumah mereka adalah tempat favoritnya sehari-hari selama dua tahun ini.

"Viana, kau tidak..."

"Iya, iya! Aku tahu aku tak boleh pergi kemana pun dan harus terus meringkuk di dalam rumah kayu yang berada di pinggiran kota ini." Potong Carina kesal seraya melirik sebal Arvis yang duduk di sebelahnya.

"Bukan begitu, Viana. Ini semua..."

"Demi kebaikanku." Lagi-lagi ia memotong ucapan Arvis seraya mendengus kesal. "Itu yang selalu kau katakan selama dua tahun ini. Kau tidak lelah mengucapkannya? Aku saja yang mendengarnya lelah."

Arvis menatapnya serta mendesah pasrah mendengar rajukan gadis di sampingnya itu.

Tak beberapa lama ia kembali merajuk, "Kenapa hanya aku yang tak boleh? Sera dan Ashley saja boleh! Bahkan Brian dan Charlie bisa sesuka hati mereka pergi ke pusat kota."

Arvis yang tak tahan lagi, ia kehilangan kesabarannya dan akhirnya tanpa sadar membentak Carina, "Sekali kubilang tidak ya tidak! Kau tak mendengarku?! Kenapa kau keras kepala sekali sih!"

Deg!

Carina menatap Arvis tak percaya. Baru kali ini laki-laki itu begitu marah padanya dan membentaknya seperti ini.

Arvis baru tersadar atas sikap kasarnya ketika melihat perubahan ekspresi pada wajah Carina.

Carina langsung menghindari kontak mata dengannya dan langsung menunduk dalam-dalam. Ia benar-benar terkejut dengan sikap Arvis yang seperri ini, hingga membuat perasaannya berubah menjadi campur aduk sampai rasanya ingin menangis.

"Ma-maaf." Cicit Carina pelan dengan suara bergetar. Entah kenapa ia seperti pernah merasakan hal seperti ini. Ia begitu ketakutan pada sosok dingin di hadapannya ini hingga membuat tubuhnya gemetaran. "A-aku tak akan melakukanya lagi. Su-sungguh maafkan aku."

"Maafkan aku. Maafkan aku. Aku benar-benar minta maaf." Ulangnya ketakutan seraya beranjak berdiri menjauhi Arvis, kemudian berlari ke dalam rumah kayu mungil itu menuju kamarnya yang berada di bawah tanah.

***

Ciyeee kangen yak wkwk
Mulai sekarang saya bakal lanjut ke chapter berikutnya kalo votenya udh lebih dr 400 yah. Soalnya saya gak semangat mau nulis kalo yg vote dikit, gaada motivasinya gitu deh 😂

HOLDER : Elsewhere (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang